Thursday, October 12, 2017

UNDANG- UNDANG TENTANG KEPROTOKOLAN


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 2010
TENTANG
KEPROTOKOLAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang  : a.   bahwa negara menghormati kedudukan para Pejabat Negara, Pejabat Pemerintahan, perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional, serta tokoh masyarakat tertentu dengan suatu pengaturan keprotokolan;
b.   bahwa dalam upaya penyesuaian terhadap dinamika yang tumbuh dan berkembang dalam sistem ketatanegaraan, budaya, dan tradisi bangsa, dipandang perlu suatu pengaturan keprotokolan secara menyeluruh;
c.   bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1987 tentang Protokol sudah tidak sesuai dengan perkembangan sistem ketatanegaraan sehingga perlu diganti;
d.   bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Keprotokolan;

Mengingat    : Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KEPROTOKOLAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.   Keprotokolan adalah serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan aturan dalam acara kenegaraan atau acara resmi yang meliputi Tata Tempat, Tata Upacara, dan Tata Penghormatan sebagai bentuk penghormatan kepada seseorang sesuai dengan jabatan dan/atau kedudukannya dalam negara, pemerintahan, atau masyarakat.
2.   Acara Kenegaraan adalah acara yang diatur dan dilaksanakan oleh panitia negara secara terpusat, dihadiri oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, serta Pejabat Negara dan undangan lain.
3.   Acara Resmi adalah acara yang diatur dan dilaksanakan oleh pemerintah atau lembaga negara dalam melaksanakan tugas dan fungsi tertentu dan dihadiri oleh Pejabat Negara dan/atau Pejabat Pemerintahan serta undangan lain.
4.   Tata Tempat adalah pengaturan tempat bagi Pejabat Negara, Pejabat Pemerintahan, perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional, serta Tokoh Masyarakat Tertentu dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi.
5.   Tata Upacara adalah aturan untuk melaksanakan upacara dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi.
6.   Tata Penghormatan adalah aturan untuk melaksanakan pemberian hormat bagi Pejabat Negara, Pejabat Pemerintahan, perwakilan Negara asing dan/atau organisasi internasional, dan Tokoh Masyarakat Tertentu dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi.
7.   Pejabat Negara adalah pimpinan dan anggota lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pejabat Negara yang secara tegas ditentukan dalam Undang-Undang.
8.   Pejabat Pemerintahan adalah pejabat yang menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah.
9.   Tamu Negara adalah pemimpin negara asing yang berkunjung secara kenegaraan, resmi, kerja, atau pribadi ke negara Indonesia.
10. Tokoh Masyarakat Tertentu adalah tokoh masyarakat yang berdasarkan kedudukan sosialnya mendapat pengaturan Keprotokolan.
11. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP

Pasal 2
Keprotokolan diatur berdasarkan asas:
a.   kebangsaan;
b.   ketertiban dan kepastian hukum;
c.   keseimbangan, keserasian, dan keselarasan; dan
d.   timbal balik.

Pasal 3
Pengaturan Keprotokolan bertujuan untuk:
a.   memberikan penghormatan kepada Pejabat Negara, Pejabat Pemerintahan, perwakilan Negara asing dan/atau organisasi internasional, serta Tokoh Masyarakat Tertentu, dan/atau Tamu Negara sesuai dengan kedudukan dalam negara, pemerintahan, dan masyarakat;
b.   memberikan pedoman penyelenggaraan suatu acara agar berjalan tertib, rapi, lancar, dan teratur sesuai dengan ketentuan dan kebiasaan yang berlaku, baik secara nasional maupun internasional; dan
c.   menciptakan hubungan baik dalam tata pergaulan antarbangsa.

Pasal 4
(1) Ruang lingkup pengaturan dalam Undang-Undang ini meliputi:
a.   Tata Tempat;
b.   Tata Upacara; dan
c.   Tata Penghormatan.
(2) Pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberlakukan hanya dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi bagi;
a.   Pejabat Negara;
b.   Pejabat Pemerintahan;
c.   perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional; dan
d.   Tokoh Masyarakat Tertentu.

BAB III
ACARA KENEGARAAN DAN ACARA RESMI

Pasal 5
(1) Penyelenggaraan Acara Kenegaraan dan Acara Resmi dilaksanakan sesuai dengan aturan Tata Tempat, Tata Upacara, dan Tata Penghormatan.
(2) Acara Kenegaraan dan Acara Resmi dapat berupa upacara bendera atau bukan upacara bendera.
(3) Dalam hal terjadi situasi dan kondisi tertentu yang tidak memungkinkan terlaksananya atau berlangsungnya Acara Kenegaraan atau Acara Resmi, pelaksanaan acara dimaksud menyesuaikan dengan situasi dan kondisi tertentu tersebut.
(4) Penyesuaian pelaksanaan Acara Kenegaraan atau Acara Resmi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diputuskan oleh inspektur upacara.

Pasal 6
(1) Acara Kenegaraan diselenggarakan oleh Negara dan dilaksanakan oleh panitia negara yang diketuai oleh menteri yang membidangi urusan kesekretariatan negara.
(2) Dalam hal Acara Kenegaraan diselenggarakan di lingkungan lembaga negara lain, pelaksanaannya dilakukan oleh kesekretariatan lembaga Negara dimaksud berkoordinasi dengan panitia Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Penyelenggaraan acara kenegaraan dapat dilaksanakan di Ibukota Negara Republik Indonesia atau di luar Ibukota Negara Republik Indonesia.

Pasal 7
(1) Penyelenggaraan Keprotokolan Acara Resmi dilaksanakan oleh petugas protokol yang merupakan bagian dari kesekretariatan lembaga negara dan/atau instansi pemerintahan.
(2) Penyelenggaraan Acara Resmi dilakukan oleh:
a.   lembaga negara yang kewenangannya disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.   lembaga negara yang dibentuk dengan atau dalam Undang-Undang;
c.   kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian;
d.   instansi pemerintah pusat dan daerah; dan
e.   organisasi lain.
(3) Penyelenggaraan Acara Resmi diselenggarakan di Ibukota Negara Republik Indonesia dan/atau dapat di luar Ibukota Negara Republik Indonesia.

BAB IV
TATA TEMPAT

Pasal 8
Pejabat Negara, Pejabat Pemerintahan, perwakilan Negara asing dan/atau organisasi internasional, Tokoh Masyarakat Tertentu dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi mendapat tempat sesuai dengan pengaturan Tata Tempat.

Pasal 9
(1) Tata Tempat dalam Acara Kenegaraan dan Acara Resmi di Ibukota Negara Republik Indonesia ditentukan dengan urutan:
a.   Presiden Republik Indonesia;
b.   Wakil Presiden Republik Indonesia;
c.   mantan Presiden dan mantan Wakil Presiden Republik Indonesia;
d.   Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
e.   Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;
f.    Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia;
g.   Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia;
h.   Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia;
i.    Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia;
j.    Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia;
k.   perintis pergerakan kebangsaan/ kemerdekaan;
l.    duta besar/Kepala Perwakilan Negara Asing dan Organisasi Internasional;
m. Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Badan Penyelenggara Pemilihan Umum, Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Wakil Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, dan Wakil Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia;
n.   menteri, pejabat setingkat menteri, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, serta Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia;
o.   Kepala Staf Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara Tentara Nasional Indonesia;
p.   pemimpin partai politik yang memiliki wakil di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;
q.   anggota Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Ketua Muda dan Hakim Agung Mahkamah Agung Republik Indonesia, Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, dan anggota Komisi Yudisial Republik Indonesia;
r.    pemimpin lembaga negara yang ditetapkan sebagai pejabat negara, pemimpin lembaga negara lainnya yang ditetapkan dengan undang-undang, Deputi Gubernur Senior dan Deputi Gubernur Bank Indonesia, serta Wakil Ketua Badan Penyelenggara Pemilihan Umum;
s.   gubernur kepala daerah;
t.    pemilik tanda jasa dan tanda kehormatan tertentu;
u.   pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian, Wakil Menteri, Wakil Kepala Staf Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara Tentara Nasional Indonesia, Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Wakil Jaksa Agung Republik Indonesia, Wakil Gubernur, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, pejabat eselon I atau yang disetarakan;
v.   bupati/walikota dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota; dan
w. Pimpinan tertinggi representasi organisasi keagamaan tingkat nasional yang secara faktual diakui keberadaannya oleh Pemerintah dan masyarakat.
(2) Tata Tempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diadakan di luar Ibukota Negara Republik Indonesia diatur dengan berpedoman pada urutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 10
(1) Tata Tempat dalam Acara Resmi di provinsi ditentukan dengan urutan:
a.   gubernur;
b.   wakil gubernur;
c.   mantan gubernur dan mantan wakil gubernur;
d.   Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi atau nama lainnya;
e.   kepala perwakilan konsuler negara asing di daerah;
f.    Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi atau nama lainnya;
g.   sekretaris daerah, panglima/komandan tertinggi Tentara Nasional Indonesia semua angkatan, kepala kepolisian, ketua pengadilan tinggi semua badan peradilan, dan kepala kejaksaan tinggi di provinsi;
h.   pemimpin partai politik di provinsi yang memiliki wakil di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi;
i.    anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi atau nama lainnya, anggota Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh dan anggota Majelis Rakyat Papua;
j.    bupati/walikota;
k.   Kepala Kantor Perwakilan Badan Pemeriksa Keuangan di daerah, Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia di daerah, ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah;
l.    pemuka agama, pemuka adat, dan Tokoh Masyarakat Tertentu tingkat provinsi;
m.  Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota;
n.   wakil bupati/wakil walikota dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota;
o.   anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota;
p.   asisten sekretaris daerah provinsi, kepala dinas tingkat provinsi, kepala kantor instansi vertikal di provinsi, kepala badan provinsi, dan pejabat eselon II; dan
q.   kepala bagian pemerintah daerah provinsi dan pejabat eselon III.
(2) Penyelenggara negara, perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional, serta Tokoh Masyarakat Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) hadir dalam Acara Resmi di provinsi menempati urutan Tata Tempat terlebih dahulu.

Pasal 11
(1) Tata Tempat dalam Acara Resmi di kabupaten/kota ditentukan dengan urutan:
a.   bupati/walikota;
b.   wakil bupati/wakil walikota;
c.   mantan bupati/walikota dan mantan wakil bupati/wakil walikota;
d.   Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota atau nama lainnya;
e.   Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota atau nama lainnya;
f.    sekretaris daerah, komandan tertinggi Tentara Nasional Indonesia semua angkatan, kepala kepolisian, ketua pengadilan semua badan peradilan, dan kepala kejaksaan negeri di kabupaten/kota;
g.   pemimpin partai politik di kabupaten/kota yang memiliki wakil di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota;
h.   anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota atau nama lainnya;
i.    pemuka agama, pemuka adat, dan Tokoh Masyarakat Tertentu tingkat kabupaten/ kota;
j.    asisten sekretaris daerah kabupaten/kota, kepala badan tingkat kabupaten/kota, kepala dinas tingkat kabupaten/kota, dan pejabat eselon II, kepala kantor perwakilan Bank Indonesia di tingkat kabupaten, ketua komisi pemilihan umum kabupaten/kota;
k.   kepala instansi vertikal tingkat kabupaten/kota, kepala unit pelaksana teknis instansi vertikal, komandan tertinggi Tentara Nasional Indonesia semua angkatan di kecamatan, dan kepala kepolisian di kecamatan;
l.    kepala bagian pemerintah daerah kabupaten/kota, camat, dan pejabat eselon III; dan
m.  lurah/kepala desa atau yang disebut dengan nama lain dan pejabat eselon IV.
(2) Dalam hal penyelenggara negara, perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional, serta Tokoh Masyarakat Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) hadir dalam Acara Resmi di kabupaten/kota, para pejabat tersebut menempati urutan Tata Tempat terlebih dahulu.

Pasal 12
Ketentuan lebih lanjut mengenai Tata Tempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 13
Tata Tempat bagi penyelenggara dan/atau pejabat tuan rumah dalam pelaksanaan Acara Resmi sebagai berikut:
a.   dalam hal Acara Resmi dihadiri Presiden dan/atau Wakil Presiden, penyelenggara dan/atau pejabat tuan rumah mendampingi Presiden dan/atau Wakil Presiden.
b.   dalam hal Acara Resmi tidak dihadiri Presiden dan/atau Wakil Presiden, penyelenggara dan/atau pejabat tuan rumah mendampingi Pejabat Negara dan/atau Pejabat Pemerintah yang tertinggi kedudukannya.

Pasal 14
(1) Pejabat Negara, Pejabat Pemerintahan, perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional, serta Tokoh Masyarakat Tertentu dalam Acara Kenegaraan dan/atau Acara Resmi dapat didampingi istri atau suami.
(2) Istri atau suami sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menempati urutan sesuai Tata Tempat suami atau istri.

Pasal 15
(1) Dalam hal Pejabat Negara, Pejabat Pemerintahan, kepala perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional, serta Tokoh Masyarakat Tertentu berhalangan hadir pada Acara Kenegaraan atau Acara Resmi, tempatnya tidak diisi oleh yang mewakilinya.
(2) Seorang yang mewakili sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mendapat tempat sesuai dengan kedudukan sosial dan kehormatan yang diterimanya atau jabatannya.

BAB V
TATA UPACARA

Bagian Kesatu
Upacara Bendera

Pasal 16
Upacara bendera hanya dapat dilaksanakan untuk Acara Kenegaraan atau Acara Resmi:
a.   Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia;
b.   hari besar nasional;
c.   hari ulang tahun lahirnya lembaga negara;
d.   hari ulang tahun lahirnya instansi pemerintah; dan
e.   hari ulang tahun lahirnya provinsi dan kabupaten/kota.

Pasal 17
Tata upacara bendera dalam penyelenggaraan Acara Kenegaraan dan Acara Resmi meliputi:
a.   tata urutan dalam upacara bendera;
b.   tata bendera negara dalam upacara bendera;
c.   tata lagu kebangsaan dalam upacara bendera; dan
d.   tata pakaian dalam upacara bendera.

Pasal 18
Tata urutan upacara bendera sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a meliputi tata urutan upacara bendera dalam rangka peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dan tata urutan upacara bendera dalam upacara bendera sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b sampai dengan huruf e.

Pasal 19
Tata urutan upacara bendera sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a sekurang-kurangnya meliputi:
a.   pengibaran bendera negara diiringi dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya;
b.   mengheningkan cipta;
c.   pembacaan naskah Pancasila;
d.   pembacaan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan
e.   pembacaan doa.

Pasal 20
Tata urutan upacara bendera dalam rangka peringatan hari ulang tahun proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 sekurang-kurangnya meliputi:
a.   pengibaran bendera negara diiringi dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya;
b.   mengheningkan cipta;
c.   mengenang detik-detik Proklamasi diiringi dengan tembakan meriam, sirine, bedug, lonceng gereja dan lain-lain selama satu menit;
d.   pembacaan Teks Proklamasi; dan
e.   pembacaan doa.

Pasal 21
Tata bendera negara dalam upacara bendera sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf b meliputi:
a.   bendera dikibarkan sampai dengan saat matahari terbenam;
b.   tiang bendera didirikan di tempat upacara; dan
c.   penghormatan pada saat pengibaran atau penurunan bendera.

Pasal 22
(1) Tata lagu kebangsaan dalam upacara bendera sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf c meliputi:
a.   pengibaran atau penurunan bendera Negara dengan diiringi lagu kebangsaan;
b.   iringan lagu kebangsaan dalam pengibaran atau penurunan bendera negara dilakukan oleh korps musik atau genderang dan/atau sangkakala, sedangkan seluruh peserta upacara mengambil sikap sempurna dan memberikan penghormatan menurut keadaan setempat.
(2) Dalam hal tidak ada korps musik atau gendering dan/atau sangkakala pengibaran atau penurunan bendera negara diringi dengan lagu kebangsaan oleh seluruh peserta upacara.
(3) Waktu pengiring lagu untuk pengibaran atau penurunan bendera tidak dibenarkan menggunakan musik dari alat rekam.

Pasal 23
(1) Tata pakaian upacara bendera sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf d dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi disesuaikan menurut jenis acara.
(2) Dalam Acara Kenegaraan digunakan pakaian sipil lengkap, pakaian dinas, pakaian kebesaran, atau pakaian nasional yang berlaku sesuai dengan jabatannya atau kedudukannya dalam masyarakat.
(3) Dalam Acara Resmi dapat digunakan pakaian sipil harian atau seragam resmi lain yang telah ditentukan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pakaian sipil lengkap, pakaian dinas, pakaian kebesaran, pakaian nasional, pakaian sipil harian, atau seragam resmi diatur dalam Peraturan Presiden.

Pasal 24
(1) Untuk melaksanakan upacara bendera dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi, diperlukan kelengkapan dan perlengkapan.
(2) Kelengkapan upacara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain, meliputi:
a.   inspektur upacara;
b.   komandan upacara;
c.   perwira upacara;
d.   peserta upacara;
e.   pembawa naskah;
f.    pembaca naskah; dan
g.   pembawa acara.
(3) Perlengkapan upacara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain, meliputi:
a.   bendera;
b.   tiang bendera dengan tali;
c.   mimbar upacara;
d.   naskah Proklamasi;
e.   naskah Pancasila;
f.    naskah Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan
g.   teks doa.

Pasal 25
Dalam hal terjadi situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan terlaksananya tata upacara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, tata upacara dilaksanakan dengan menyesuaikan situasi dan kondisi tersebut.

Bagian Kedua
Upacara bukan Upacara Bendera

Pasal 26
Upacara bukan upacara bendera dapat dilaksanakan untuk Acara Kenegaraan atau Acara Resmi.

Pasal 27
Tata Upacara bukan upacara bendera dalam penyelenggaraan Acara Kenegaraan dan Acara Resmi meliputi tata urutan upacara dan tata pakaian upacara.

Pasal 28
Tata urutan acara bukan upacara bendera sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi, antara lain, meliputi:
a.   menyanyikan dan/atau mendengarkan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya;
b.   pembukaan;
c.   acara pokok; dan
d.   penutup.

Pasal 29
(1) Tata pakaian upacara bukan upacara bendera dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi disesuaikan menurut jenis acara.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata pakaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden.

Pasal 30
Bendera negara dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi upacara bukan upacara bendera dipasang pada sebuah tiang bendera dan diletakkan di sebelah kanan mimbar.

BAB VI
TATA PENGHORMATAN

Pasal 31
(1) Pejabat Negara, Pejabat Pemerintahan, perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional, serta Tokoh Masyarakat Tertentu dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi mendapat penghormatan.
(2) Penghormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.   penghormatan dengan bendera negara;
b.   penghormatan dengan lagu kebangsaan; dan/atau
c.   bentuk penghormatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Tata penghormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB VII
TAMU NEGARA, TAMU PEMERINTAH, DAN/ATAU
TAMU LEMBAGA NEGARA LAINNYA

Pasal 32
Tamu Negara, tamu pemerintah, dan/atau tamu lembaga negara lain yang berkunjung ke Negara Indonesia mendapat pengaturan keprotokolan sebagai penghormatan kepada negaranya sesuai dengan asas timbal balik, norma-norma, dan/atau kebiasaan dalam tata pergaulan internasional.

Pasal 33
(1) Tamu Negara terdiri atas presiden, raja, kaisar, ratu, yang dipertuan agung, paus, gubernur jenderal, wakil presiden, perdana menteri, kanselir, dan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
(2) Tamu pemerintah dan/atau tamu lembaga Negara lainnya dapat terdiri atas pejabat tinggi lembaga negara asing lain, mantan kepala negara/pemerintahan atau wakilnya, wakil perdana menteri, menteri atau setingkat menteri, kepala perwakilan negara asing, utusan khusus dan tokoh masyarakat asing/internasional tertentu lain yang akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Kunjungan Tamu Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a.   kunjungan kenegaraan;
b.   kunjungan resmi;
c.   kunjungan kerja; atau
d.   kunjungan pribadi.

Pasal 34
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan keprotokolan terhadap Tamu Negara, tamu pemerintah, dan/atau tamu lembaga negara lain diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 35
Penyelenggaraan keprotokolan di daerah khusus atau daerah istimewa dilaksanakan dengan menghormati kekhususan atau keistimewaan daerah tersebut sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

Pasal 36
Pendanaan keprotokolan dalam Acara Kenegaraan dan Acara Resmi dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 37
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1987 tentang Protokol (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1987 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3363) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 38
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1987 tentang Protokol (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1987 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3363) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

Pasal 39
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.




Disahkan di Jakarta
pada tanggal 19 November 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 November 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 125


Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Ttd,
Wisnu Setiawan





























PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 2010
TENTANG
KEPROTOKOLAN

I.    UMUM
Negara menghormati kedudukan para Pejabat Negara, Pejabat Pemerintahan, perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional, serta Tokoh Masyarakat Tertentu dengan Tata Pengaturan mengenai Keprotokolan. Pengaturan Keprotokolan tersebut perlu disesuaikan dengan dinamika yang tumbuh dan berkembang dalam sistem ketatanegaraan, budaya, dan tradisi bangsa.
Perubahan ketatanegaraan di Indonesia setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berimplikasi pada perubahan pengaturan keprotokolan negara. Perubahan mendasar antara lain diwujudkan dengan ditiadakannya lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara yang selanjutnya menjadi lembaga negara. Perubahan tersebut dan dengan telah disahkannya berbagai Undang-Undang baru menghasilkan lembaga baru yang belum diatur keprotokolannya dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi. Pengaturan Keprotokolan juga diperlukan terhadap lembaga negara yang secara tegas ditentukan dalam Undang-Undang.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1987 tentang Protokol pada saat ini sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan system ketatanegaraan sehingga diperlukan Undang-Undang baru dalam rangka penyempurnaan pengaturan mengenai Keprotokolan khususnya mengenai Tata Tempat, Tata Upacara, dan Tata Penghormatan kepada Pejabat Negara, Pejabat Pemerintahan, perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional, Tokoh Masyarakat Tertentu, dan/atau tamu negara sesuai dengan kedudukan dalam negara, pemerintahan, dan masyarakat.
Ruang lingkup pengaturan dalam Undang-Undang ini meliputi Tata Tempat, Tata Upacara, dan Tata Penghormatan yang diberlakukan dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi bagi Pejabat Negara, Pejabat Pemerintahan, perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional, serta Tokoh Masyarakat tertentu.
Pengaturan Keprotokolan dalam Undang-Undang ini berasaskan kebangsaan, ketertiban dan kepastian hukum, keseimbangan, serta keselarasan dan timbal balik yang bertujuan:
a.   memberikan penghormatan kepada Pejabat Negara, Pejabat Pemerintahan, perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional, Tokoh Masyarakat Tertentu, dan/atau Tamu Negara sesuai dengan kedudukan dalam negara, pemerintahan, dan masyarakat;
b.   memberikan pedoman penyelenggaraan suatu acara agar berjalan tertib, rapi, lancar, dan teratur sesuai dengan ketentuan dan kebiasaan yang berlaku, baik secara nasional maupun internasional; dan
c.   menciptakan hubungan baik dalam tata pergaulan antarbangsa.
Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai penyelenggaraan Acara Kenegaraan dan Acara Resmi yang dilaksanakan sesuai dengan Tata Tempat, Tata Upacara, dan Tata Penghormatan baik dalam upacara bendera maupun bukan upacara bendara. Penyelenggara Acara Kenegaraan dilaksanakan oleh Panitia Negara yang diketuai oleh menteri yang membidangi urusan kesekretariatan negara, sedangkan penyelenggara Keprotokolan Acara Resmi dilakukan oleh:
12. lembaga negara yang kewenangannya disebutkan dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
13. lembaga negara yang dibentuk dengan atau dalam Undang- Undang;
14. kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian;
15. instansi pemerintah pusat dan daerah; dan
16. organisasi lain.
Undang-Undang ini mengatur pula mengenai tata upacara bendera dalam penyelenggaraan Acara Kenegaraan dan Acara Resmi yang meliputi tata urutan upacara bendera, tata bendera negara dalam upacara bendera, tata lagu kebangsaan dalam upacara bendera, dan tata pakaian dalam upacara bendera.
Ketentuan mengenai Keprotokolan bagi Tamu Negara, tamu pemerintah dan/atau tamu lembaga negara lain yang berkunjung ke negara Indonesia merupakan penghormatan kepada negaranya dan dilaksanakan sesuai dengan asas timbal balik, norma-norma, dan/atau kebiasaan dalam pergaulan internasional dengan tetap memperhatikan nilai sosial dan budaya bangsa Indonesia yang berkembang, tanpa mengabaikan kebiasaan yang berlaku dalam pergaulan internasional.

II.   PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kebangsaan” adalah keprotokolan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “ketertiban dan kepastian hukum'' adalah keprotokolan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui adanya kepastian hukum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “keseimbangan, keserasian, dan keselarasan” adalah keprotokolan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “timbal balik” adalah keprotokolan diberikan setimpal atau balas jasa terhadap keprotokolan dari negara lain.

Pasal 3
Cukup jelas.

Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ”situasi dan kondisi tertentu”, antara lain, kondisi tempat dan ruangan yang tersedia, hujan yang berkepanjangan, gempa, banjir, longsor, bencana lainnya.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “panitia negara” adalah panitia yang susunan keanggotaannya ditetapkan dengan keputusan presiden untuk melaksanakan Acara Kenegaraan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 7
Cukup jelas.

Pasal 8
Cukup jelas.

Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Yang dimaksud dengan ”Kepala Perwakilan Negara Asing” adalah orang yang ditugaskan oleh Negara pengirim bagi Negara Republik Indonesia untuk bertindak sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
Yang dimaksud dengan ”Kepala Organisasi Internasional” adalah orang yang ditunjuk sebagai kepala organisasi antar pemerintah untuk bertindak sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
Huruf m
Yang dimaksud dengan ”Badan Penyelenggara Pemilihan Umum” adalah Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilihan Umum.
Huruf n
Pejabat setingkat menteri adalah pejabat yang ditetapkan oleh Presiden berdasarkan peraturan perundang-undangan seperti: Jaksa Agung, Panglima Tentara Nasional Indonesia, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri).
Pengertian pejabat setingkat menteri dalam Undang-Undang ini hanya terkait dengan Tata Tempat pada Acara Kenegaraan dan Acara Resmi di Ibukota Negara Republik Indonesia.
Huruf o
Cukup jelas.
Hurup p
Yang dimaksud dengan “pemimpin partai politik”, adalah ketua umum atau sebutan lain, pemimpin tertingggi partai politik sesuai dengan anggaran dasar/anggaran rumah tangga partai politik.
Huruf q
Cukup jelas.
Huruf r
Cukup jelas.
Huruf s
Cukup jelas.
Huruf t
Yang dimaksud dengan ”pemilik tanda jasa dan tanda kehormatan’’ adalah pemilik tanda kehormatan Bintang Republik Indonesia.
Huruf u
Cukup jelas.
Huruf v
Cukup jelas.
Huruf w
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “nama lainnya” adalah Dewan Perwakilan Rakyat Aceh di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “pemimpin partai politik”, adalah ketua umum atau sebutan lain, pemimpin tertingggi partai politik sesuai dengan anggaran dasar/anggaran rumah tangga partai politik.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Yang dimaksud dengan “pemuka agama di tingkat provinsi” adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia, Ketua Konferensi Wali Gereja Indonesia, Ketua Persekutuan Gereja-gereja Indonesia, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia, Ketua Perwalian Umat Budha Indonesia, dan Ketua Umum Organisasi Keagamaan yang diakui oleh peraturan perundang-undangan di provinsi.
Yang dimaksud dengan “pemuka adat” adalah tokoh atau pemimpin kesatuan masyarakat adat dengan penyebutan nama jabatan adat dan/atau nama tokoh atau gelar pada suatu daerah tertentu.
Tokoh masyarakat tertentu di provinsi antara lain rektor perguruan tinggi setempat.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penyelenggara negara”, antara lain, Pejabat Negara dan Pejabat Pemerintahan yang hadir dalam Acara Resmi di provinsi.

Pasal 11
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “nama lainnya” adalah dewan perwakilan rakyat kabupaten/kota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan ”pimpinan partai politik di kabupaten/kota” adalah ketua wilayah atau sebutan lain pemimpin tertinggi partai politik di kabupten/kota sesuai dengan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga partai politik.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Yang dimaksud dengan ”pemuka agama di tingkat kabupaten/kota” adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia, Ketua Konferensi Wali Gereja Indonesia, Ketua Persekutuan Gereja-gereja Indonesia, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia, Ketua Perwalian Umat Budha Indonesia, dan Ketua Umum Organisasi Keagamaan yang diakui oleh peraturan perundang-undangan di kabupaten/kota.
Yang dimaksud dengan “pemuka adat” adalah tokoh atau pemimpin kesatuan masyarakat adat dengan penyebutan nama jabatan adat dan/atau nama tokoh atau gelar pada suatu daerah tertentu.
Tokoh masyarakat tertentu di kabupaten/kota antara lain rektor perguruan tinggi.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penyelenggara negara”, antara lain, Pejabat Negara dan Pejabat Pemerintahan yang hadir dalam Acara Resmi di kabupaten/kota.

Pasal 12
Cukup jelas.

Pasal 13
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tuan rumah” adalah gubernur, dan/atau bupati/walikota sebagai kepala daerah yang menyelenggarakan Acara Resmi di provinsi atau kabupaten/kota.
Huruf b
Pejabat pemerintah yang tertinggi didasarkan pada tingkat eselonisasi.

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Huruf a
Pengibaran bendera diiringi dengan lagu kebangsaan pada pagi hari dilakukan menjelang detik-detik proklamasi.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 20
Huruf a
Pengibaran bendera diiringi dengan lagu kebangsaan pada pagi hari dilakukan menjelang detik-detik proklamasi.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.

Pasal 21
Huruf a
Pelaksanaan upacara penurunan bendera dilakukan dengan menghormati waktu kegiatan keagamaan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.

Pasal 22
Cukup jelas.

Pasal 23
Cukup jelas.

Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “inspektur upacara” pada ayat ini adalah pembina upacara atau sebutan lainnya.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “komandan upacara” pada ayat ini adalah pemimpin upacara atau sebutan lainnya.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “perwira upacara” pada ayat ini adalah penanggung jawab upacara atau sebutan lainnya.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 25
Yang dimaksud dengan ”situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan”, antara lain, hujan yang berkepanjangan, gempa, banjir, longsor, atau bencana alam lain.

Pasal 26
Cukup jelas.

Pasal 27
Cukup jelas.

Pasal 28
Cukup jelas.

Pasal 29
Cukup jelas.

Pasal 30
Cukup jelas.

Pasal 31
Cukup jelas.

Pasal 32
Cukup jelas.

Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kunjungan kenegaraan” adalah kunjungan yang dilakukan oleh kepala negara (raja, presiden, sultan, ratu, paus, atau yang dipertuan agung) dalam suatu periode masa jabatan dan baru pertama kali diadakan dengan tujuan memperkenalkan diri atau mengawali suatu perjanjian kerja sama kedua Negara dalam bidang tertentu.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kunjungan resmi” adalah kunjungan yang dilakukan oleh kepala pemerintahan (perdana menteri, kanselir) untuk pertama kalinya atau kunjungan kepala negara untuk kedua kalinya atau lebih dengan tujuan menindaklanjuti atau mengembangkan suatu perjanjian kerja sama yang disepakati sebelumnya atau berdasarkan undangan negara yang bersangkutan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kunjungan kerja” adalah kunjungan yang ketiga kali atau lebih oleh kepala negara/pemerintahan ke negara yang sama atau dalam rangka menghadiri pertemuan-pertemuan internasional, seperti konferensi tingkat tinggi.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kunjungan pribadi” adalah kunjungan yang dilakukan karena keperluan pribadi/khusus dan semaksimal mungkin mengurangi hal-hal yang bersifat keprotokolan.

Pasal 34
Cukup jelas.

Pasal 35
Cukup jelas.

Pasal 36
Cukup jelas.

Pasal 37
Cukup jelas.

Pasal 38
Cukup jelas.

Pasal 39
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMO

No comments:

Post a Comment