UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
9 TAHUN 2010
TENTANG
KEPROTOKOLAN
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa negara menghormati kedudukan para Pejabat
Negara, Pejabat Pemerintahan, perwakilan negara asing dan/atau organisasi
internasional, serta tokoh masyarakat tertentu dengan suatu pengaturan
keprotokolan;
b. bahwa dalam upaya penyesuaian terhadap dinamika yang tumbuh dan
berkembang dalam sistem ketatanegaraan, budaya, dan tradisi bangsa, dipandang
perlu suatu pengaturan keprotokolan secara menyeluruh;
c. bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1987 tentang Protokol sudah tidak
sesuai dengan perkembangan sistem ketatanegaraan sehingga perlu diganti;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Keprotokolan;
Mengingat : Pasal
20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan
Persetujuan Bersama
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG
TENTANG KEPROTOKOLAN.
BAB
I
KETENTUAN
UMUM
Pasal
1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Keprotokolan
adalah serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan aturan dalam acara kenegaraan
atau acara resmi yang meliputi Tata Tempat, Tata Upacara, dan Tata Penghormatan
sebagai bentuk penghormatan kepada seseorang sesuai dengan jabatan dan/atau
kedudukannya dalam negara, pemerintahan, atau masyarakat.
2. Acara
Kenegaraan adalah acara yang diatur dan dilaksanakan oleh panitia negara secara
terpusat, dihadiri oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, serta Pejabat Negara
dan undangan lain.
3. Acara
Resmi adalah acara yang diatur dan dilaksanakan oleh pemerintah atau lembaga negara
dalam melaksanakan tugas dan fungsi tertentu dan dihadiri oleh Pejabat Negara dan/atau
Pejabat Pemerintahan serta undangan lain.
4. Tata
Tempat adalah pengaturan tempat bagi Pejabat Negara, Pejabat Pemerintahan,
perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional, serta Tokoh
Masyarakat Tertentu dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi.
5. Tata
Upacara adalah aturan untuk melaksanakan upacara dalam Acara Kenegaraan atau
Acara Resmi.
6. Tata
Penghormatan adalah aturan untuk melaksanakan pemberian hormat bagi Pejabat Negara,
Pejabat Pemerintahan, perwakilan Negara asing dan/atau organisasi
internasional, dan Tokoh Masyarakat Tertentu dalam Acara Kenegaraan atau Acara
Resmi.
7. Pejabat
Negara adalah pimpinan dan anggota lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pejabat Negara yang secara tegas
ditentukan dalam Undang-Undang.
8. Pejabat
Pemerintahan adalah pejabat yang menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan,
baik di pusat maupun di daerah.
9. Tamu
Negara adalah pemimpin negara asing yang berkunjung secara kenegaraan, resmi,
kerja, atau pribadi ke negara Indonesia.
10. Tokoh
Masyarakat Tertentu adalah tokoh masyarakat yang berdasarkan kedudukan sosialnya
mendapat pengaturan Keprotokolan.
11. Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.
BAB
II
ASAS,
TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP
Pasal
2
Keprotokolan
diatur berdasarkan asas:
a. kebangsaan;
b. ketertiban
dan kepastian hukum;
c. keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan; dan
d. timbal
balik.
Pasal
3
Pengaturan
Keprotokolan bertujuan untuk:
a. memberikan
penghormatan kepada Pejabat Negara, Pejabat Pemerintahan, perwakilan Negara asing
dan/atau organisasi internasional, serta Tokoh Masyarakat Tertentu, dan/atau
Tamu Negara sesuai dengan kedudukan dalam negara, pemerintahan, dan masyarakat;
b. memberikan
pedoman penyelenggaraan suatu acara agar berjalan tertib, rapi, lancar, dan
teratur sesuai dengan ketentuan dan kebiasaan yang berlaku, baik secara
nasional maupun internasional; dan
c. menciptakan
hubungan baik dalam tata pergaulan antarbangsa.
Pasal
4
(1) Ruang
lingkup pengaturan dalam Undang-Undang ini meliputi:
a. Tata
Tempat;
b. Tata
Upacara; dan
c. Tata
Penghormatan.
(2) Pengaturan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberlakukan hanya dalam Acara Kenegaraan
atau Acara Resmi bagi;
a. Pejabat
Negara;
b. Pejabat
Pemerintahan;
c. perwakilan
negara asing dan/atau organisasi internasional; dan
d. Tokoh
Masyarakat Tertentu.
BAB
III
ACARA
KENEGARAAN DAN ACARA RESMI
Pasal
5
(1) Penyelenggaraan
Acara Kenegaraan dan Acara Resmi dilaksanakan sesuai dengan aturan Tata Tempat,
Tata Upacara, dan Tata Penghormatan.
(2) Acara
Kenegaraan dan Acara Resmi dapat berupa upacara bendera atau bukan upacara
bendera.
(3) Dalam
hal terjadi situasi dan kondisi tertentu yang tidak memungkinkan terlaksananya
atau berlangsungnya Acara Kenegaraan atau Acara Resmi, pelaksanaan acara
dimaksud menyesuaikan dengan situasi dan kondisi tertentu tersebut.
(4) Penyesuaian
pelaksanaan Acara Kenegaraan atau Acara Resmi sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) diputuskan oleh inspektur upacara.
Pasal
6
(1) Acara
Kenegaraan diselenggarakan oleh Negara dan dilaksanakan oleh panitia negara
yang diketuai oleh menteri yang membidangi urusan kesekretariatan negara.
(2) Dalam
hal Acara Kenegaraan diselenggarakan di lingkungan lembaga negara lain,
pelaksanaannya dilakukan oleh kesekretariatan lembaga Negara dimaksud
berkoordinasi dengan panitia Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Penyelenggaraan
acara kenegaraan dapat dilaksanakan di Ibukota Negara Republik Indonesia atau
di luar Ibukota Negara Republik Indonesia.
Pasal
7
(1) Penyelenggaraan
Keprotokolan Acara Resmi dilaksanakan oleh petugas protokol yang merupakan bagian
dari kesekretariatan lembaga negara dan/atau instansi pemerintahan.
(2) Penyelenggaraan
Acara Resmi dilakukan oleh:
a. lembaga
negara yang kewenangannya disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. lembaga
negara yang dibentuk dengan atau dalam Undang-Undang;
c. kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian;
d. instansi
pemerintah pusat dan daerah; dan
e. organisasi
lain.
(3) Penyelenggaraan
Acara Resmi diselenggarakan di Ibukota Negara Republik Indonesia dan/atau dapat
di luar Ibukota Negara Republik Indonesia.
BAB
IV
TATA
TEMPAT
Pasal
8
Pejabat
Negara, Pejabat Pemerintahan, perwakilan Negara asing dan/atau organisasi
internasional, Tokoh Masyarakat Tertentu dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi
mendapat tempat sesuai dengan pengaturan Tata Tempat.
Pasal
9
(1) Tata
Tempat dalam Acara Kenegaraan dan Acara Resmi di Ibukota Negara Republik
Indonesia ditentukan dengan urutan:
a. Presiden
Republik Indonesia;
b. Wakil
Presiden Republik Indonesia;
c. mantan
Presiden dan mantan Wakil Presiden Republik Indonesia;
d. Ketua
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
e. Ketua
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;
f. Ketua
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia;
g. Ketua
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia;
h. Ketua
Mahkamah Agung Republik Indonesia;
i. Ketua
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia;
j. Ketua
Komisi Yudisial Republik Indonesia;
k. perintis
pergerakan kebangsaan/ kemerdekaan;
l. duta
besar/Kepala Perwakilan Negara Asing dan Organisasi Internasional;
m. Wakil
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Wakil Ketua Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia,
Gubernur Bank Indonesia, Ketua Badan Penyelenggara Pemilihan Umum, Wakil Ketua
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Wakil Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia, Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, dan Wakil Ketua
Komisi Yudisial Republik Indonesia;
n. menteri,
pejabat setingkat menteri, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan
anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, serta Duta Besar Luar Biasa
dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia;
o. Kepala
Staf Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara Tentara Nasional Indonesia;
p. pemimpin
partai politik yang memiliki wakil di Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia;
q. anggota
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Ketua Muda dan Hakim Agung Mahkamah
Agung Republik Indonesia, Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, dan anggota
Komisi Yudisial Republik Indonesia;
r. pemimpin
lembaga negara yang ditetapkan sebagai pejabat negara, pemimpin lembaga negara
lainnya yang ditetapkan dengan undang-undang, Deputi Gubernur Senior dan Deputi
Gubernur Bank Indonesia, serta Wakil Ketua Badan Penyelenggara Pemilihan Umum;
s. gubernur
kepala daerah;
t. pemilik
tanda jasa dan tanda kehormatan tertentu;
u. pimpinan
lembaga pemerintah nonkementerian, Wakil Menteri, Wakil Kepala Staf Angkatan
Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara Tentara Nasional Indonesia, Wakil
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Wakil Jaksa Agung Republik Indonesia,
Wakil Gubernur, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, pejabat eselon I
atau yang disetarakan;
v. bupati/walikota
dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota; dan
w. Pimpinan
tertinggi representasi organisasi keagamaan tingkat nasional yang secara faktual
diakui keberadaannya oleh Pemerintah dan masyarakat.
(2) Tata
Tempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diadakan di luar Ibukota Negara
Republik Indonesia diatur dengan berpedoman pada urutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
Pasal
10
(1) Tata Tempat dalam Acara Resmi di
provinsi ditentukan dengan urutan:
a. gubernur;
b. wakil
gubernur;
c. mantan
gubernur dan mantan wakil gubernur;
d. Ketua
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi atau nama lainnya;
e. kepala
perwakilan konsuler negara asing di daerah;
f. Wakil
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi atau nama lainnya;
g. sekretaris
daerah, panglima/komandan tertinggi Tentara Nasional Indonesia semua angkatan,
kepala kepolisian, ketua pengadilan tinggi semua badan peradilan, dan kepala kejaksaan
tinggi di provinsi;
h. pemimpin
partai politik di provinsi yang memiliki wakil di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
provinsi;
i. anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi atau nama lainnya, anggota Majelis Permusyawaratan
Ulama Aceh dan anggota Majelis Rakyat Papua;
j. bupati/walikota;
k. Kepala
Kantor Perwakilan Badan Pemeriksa Keuangan di daerah, Kepala Kantor Perwakilan Bank
Indonesia di daerah, ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah;
l. pemuka
agama, pemuka adat, dan Tokoh Masyarakat Tertentu tingkat provinsi;
m. Ketua
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota;
n. wakil
bupati/wakil walikota dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota;
o. anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota;
p. asisten
sekretaris daerah provinsi, kepala dinas tingkat provinsi, kepala kantor
instansi vertikal di provinsi, kepala badan provinsi, dan pejabat eselon II;
dan
q. kepala
bagian pemerintah daerah provinsi dan pejabat eselon III.
(2) Penyelenggara
negara, perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional, serta Tokoh Masyarakat
Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) hadir dalam Acara Resmi di
provinsi menempati urutan Tata Tempat terlebih dahulu.
Pasal
11
(1)
Tata Tempat dalam Acara Resmi di kabupaten/kota ditentukan dengan urutan:
a. bupati/walikota;
b. wakil
bupati/wakil walikota;
c. mantan
bupati/walikota dan mantan wakil bupati/wakil walikota;
d. Ketua
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota atau nama lainnya;
e. Wakil
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota atau nama lainnya;
f. sekretaris
daerah, komandan tertinggi Tentara Nasional Indonesia semua angkatan, kepala kepolisian,
ketua pengadilan semua badan peradilan, dan kepala kejaksaan negeri di kabupaten/kota;
g. pemimpin
partai politik di kabupaten/kota yang memiliki wakil di Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah kabupaten/kota;
h. anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota atau nama lainnya;
i. pemuka
agama, pemuka adat, dan Tokoh Masyarakat Tertentu tingkat kabupaten/ kota;
j. asisten
sekretaris daerah kabupaten/kota, kepala badan tingkat kabupaten/kota, kepala dinas
tingkat kabupaten/kota, dan pejabat eselon II, kepala kantor perwakilan Bank Indonesia
di tingkat kabupaten, ketua komisi pemilihan umum kabupaten/kota;
k. kepala
instansi vertikal tingkat kabupaten/kota, kepala unit pelaksana teknis instansi
vertikal, komandan tertinggi Tentara Nasional Indonesia semua angkatan di kecamatan,
dan kepala kepolisian di kecamatan;
l. kepala
bagian pemerintah daerah kabupaten/kota, camat, dan pejabat eselon III; dan
m. lurah/kepala
desa atau yang disebut dengan nama lain dan pejabat eselon IV.
(2) Dalam
hal penyelenggara negara, perwakilan negara asing dan/atau organisasi
internasional, serta Tokoh Masyarakat Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) hadir dalam Acara Resmi di kabupaten/kota,
para pejabat tersebut menempati urutan Tata Tempat terlebih dahulu.
Pasal
12
Ketentuan
lebih lanjut mengenai Tata Tempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10,
dan Pasal 11 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal
13
Tata
Tempat bagi penyelenggara dan/atau pejabat tuan rumah dalam pelaksanaan Acara
Resmi sebagai berikut:
a. dalam
hal Acara Resmi dihadiri Presiden dan/atau Wakil Presiden, penyelenggara
dan/atau pejabat tuan rumah mendampingi Presiden dan/atau Wakil Presiden.
b. dalam
hal Acara Resmi tidak dihadiri Presiden dan/atau Wakil Presiden, penyelenggara
dan/atau pejabat tuan rumah mendampingi Pejabat Negara dan/atau Pejabat
Pemerintah yang tertinggi kedudukannya.
Pasal
14
(1) Pejabat
Negara, Pejabat Pemerintahan, perwakilan negara asing dan/atau organisasi
internasional, serta Tokoh Masyarakat Tertentu dalam Acara Kenegaraan dan/atau
Acara Resmi dapat didampingi istri atau suami.
(2) Istri
atau suami sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menempati urutan sesuai Tata
Tempat suami atau istri.
Pasal
15
(1) Dalam
hal Pejabat Negara, Pejabat Pemerintahan, kepala perwakilan negara asing
dan/atau organisasi internasional, serta Tokoh Masyarakat Tertentu berhalangan
hadir pada Acara Kenegaraan atau Acara Resmi, tempatnya tidak diisi oleh yang
mewakilinya.
(2) Seorang
yang mewakili sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mendapat tempat sesuai dengan kedudukan
sosial dan kehormatan yang diterimanya atau jabatannya.
BAB
V
TATA
UPACARA
Bagian
Kesatu
Upacara
Bendera
Pasal
16
Upacara
bendera hanya dapat dilaksanakan untuk Acara Kenegaraan atau Acara Resmi:
a. Hari
Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia;
b. hari
besar nasional;
c. hari
ulang tahun lahirnya lembaga negara;
d. hari
ulang tahun lahirnya instansi pemerintah; dan
e. hari
ulang tahun lahirnya provinsi dan kabupaten/kota.
Pasal
17
Tata
upacara bendera dalam penyelenggaraan Acara Kenegaraan dan Acara Resmi
meliputi:
a. tata
urutan dalam upacara bendera;
b. tata
bendera negara dalam upacara bendera;
c. tata
lagu kebangsaan dalam upacara bendera; dan
d. tata
pakaian dalam upacara bendera.
Pasal
18
Tata
urutan upacara bendera sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a meliputi
tata urutan upacara bendera dalam rangka peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia dan tata urutan upacara bendera dalam upacara
bendera sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b sampai dengan huruf e.
Pasal
19
Tata
urutan upacara bendera sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a sekurang-kurangnya
meliputi:
a. pengibaran
bendera negara diiringi dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya;
b. mengheningkan
cipta;
c. pembacaan
naskah Pancasila;
d. pembacaan
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan
e. pembacaan
doa.
Pasal
20
Tata
urutan upacara bendera dalam rangka peringatan hari ulang tahun proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
sekurang-kurangnya meliputi:
a. pengibaran
bendera negara diiringi dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya;
b. mengheningkan
cipta;
c. mengenang
detik-detik Proklamasi diiringi dengan tembakan meriam, sirine, bedug, lonceng
gereja dan lain-lain selama satu menit;
d. pembacaan
Teks Proklamasi; dan
e. pembacaan
doa.
Pasal
21
Tata
bendera negara dalam upacara bendera sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf
b meliputi:
a. bendera
dikibarkan sampai dengan saat matahari terbenam;
b. tiang
bendera didirikan di tempat upacara; dan
c. penghormatan
pada saat pengibaran atau penurunan bendera.
Pasal
22
(1) Tata
lagu kebangsaan dalam upacara bendera sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf
c meliputi:
a. pengibaran
atau penurunan bendera Negara dengan diiringi lagu kebangsaan;
b. iringan
lagu kebangsaan dalam pengibaran atau penurunan bendera negara dilakukan oleh
korps musik atau genderang dan/atau sangkakala, sedangkan seluruh peserta upacara
mengambil sikap sempurna dan memberikan penghormatan menurut keadaan setempat.
(2) Dalam
hal tidak ada korps musik atau gendering dan/atau sangkakala pengibaran atau
penurunan bendera negara diringi dengan lagu kebangsaan oleh seluruh peserta
upacara.
(3) Waktu
pengiring lagu untuk pengibaran atau penurunan bendera tidak dibenarkan menggunakan
musik dari alat rekam.
Pasal
23
(1) Tata
pakaian upacara bendera sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf d dalam Acara
Kenegaraan atau Acara Resmi disesuaikan menurut jenis acara.
(2) Dalam
Acara Kenegaraan digunakan pakaian sipil lengkap, pakaian dinas, pakaian
kebesaran, atau pakaian nasional yang berlaku sesuai dengan jabatannya atau
kedudukannya dalam masyarakat.
(3) Dalam
Acara Resmi dapat digunakan pakaian sipil harian atau seragam resmi lain yang
telah ditentukan.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai pakaian sipil lengkap, pakaian dinas, pakaian kebesaran, pakaian
nasional, pakaian sipil harian, atau seragam resmi diatur dalam Peraturan
Presiden.
Pasal
24
(1) Untuk
melaksanakan upacara bendera dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi,
diperlukan kelengkapan dan perlengkapan.
(2) Kelengkapan
upacara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain, meliputi:
a. inspektur
upacara;
b. komandan
upacara;
c. perwira
upacara;
d. peserta
upacara;
e. pembawa
naskah;
f. pembaca
naskah; dan
g. pembawa
acara.
(3) Perlengkapan
upacara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain, meliputi:
a. bendera;
b. tiang
bendera dengan tali;
c. mimbar
upacara;
d. naskah
Proklamasi;
e. naskah
Pancasila;
f. naskah
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan
g. teks
doa.
Pasal
25
Dalam
hal terjadi situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan terlaksananya tata
upacara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, tata upacara dilaksanakan dengan
menyesuaikan situasi dan kondisi tersebut.
Bagian
Kedua
Upacara
bukan Upacara Bendera
Pasal
26
Upacara
bukan upacara bendera dapat dilaksanakan untuk Acara Kenegaraan atau Acara
Resmi.
Pasal
27
Tata
Upacara bukan upacara bendera dalam penyelenggaraan Acara Kenegaraan dan Acara
Resmi meliputi tata urutan upacara dan tata pakaian upacara.
Pasal
28
Tata
urutan acara bukan upacara bendera sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dalam
Acara Kenegaraan atau Acara Resmi, antara lain, meliputi:
a. menyanyikan
dan/atau mendengarkan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya;
b. pembukaan;
c. acara
pokok; dan
d. penutup.
Pasal
29
(1) Tata
pakaian upacara bukan upacara bendera dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi disesuaikan
menurut jenis acara.
(2) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata pakaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Presiden.
Pasal
30
Bendera
negara dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi upacara bukan upacara bendera
dipasang pada sebuah tiang bendera dan diletakkan di sebelah kanan mimbar.
BAB
VI
TATA
PENGHORMATAN
Pasal
31
(1) Pejabat
Negara, Pejabat Pemerintahan, perwakilan negara asing dan/atau organisasi
internasional, serta Tokoh Masyarakat Tertentu dalam Acara Kenegaraan atau
Acara Resmi mendapat penghormatan.
(2) Penghormatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penghormatan
dengan bendera negara;
b. penghormatan
dengan lagu kebangsaan; dan/atau
c. bentuk
penghormatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Tata
penghormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB
VII
TAMU
NEGARA, TAMU PEMERINTAH, DAN/ATAU
TAMU
LEMBAGA NEGARA LAINNYA
Pasal
32
Tamu
Negara, tamu pemerintah, dan/atau tamu lembaga negara lain yang berkunjung ke
Negara Indonesia mendapat pengaturan keprotokolan sebagai penghormatan kepada
negaranya sesuai dengan asas timbal balik, norma-norma, dan/atau kebiasaan dalam
tata pergaulan internasional.
Pasal
33
(1) Tamu
Negara terdiri atas presiden, raja, kaisar, ratu, yang dipertuan agung, paus,
gubernur jenderal, wakil presiden, perdana menteri, kanselir, dan Sekretaris
Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
(2) Tamu
pemerintah dan/atau tamu lembaga Negara lainnya dapat terdiri atas pejabat
tinggi lembaga negara asing lain, mantan kepala negara/pemerintahan atau
wakilnya, wakil perdana menteri, menteri atau setingkat menteri, kepala
perwakilan negara asing, utusan khusus dan tokoh masyarakat asing/internasional
tertentu lain yang akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Kunjungan
Tamu Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. kunjungan
kenegaraan;
b. kunjungan
resmi;
c. kunjungan
kerja; atau
d. kunjungan
pribadi.
Pasal
34
Ketentuan
lebih lanjut mengenai pengaturan keprotokolan terhadap Tamu Negara, tamu pemerintah,
dan/atau tamu lembaga negara lain diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB
VIII
KETENTUAN
LAIN-LAIN
Pasal
35
Penyelenggaraan
keprotokolan di daerah khusus atau daerah istimewa dilaksanakan dengan
menghormati kekhususan atau keistimewaan daerah tersebut sepanjang tidak
bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Pasal
36
Pendanaan
keprotokolan dalam Acara Kenegaraan dan Acara Resmi dibebankan pada Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
BAB
IX
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal
37
Pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1987 tentang Protokol
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1987 Nomor 43, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3363) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal
38
Pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang
merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1987 tentang
Protokol (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1987 Nomor 43, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3363) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Pasal
39
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan
di Jakarta
pada
tanggal 19 November 2010
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR.
H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 November 2010
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK
INDONESIA,
ttd.
PATRIALIS
AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2010 NOMOR 125
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan
Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan
Rakyat,
Ttd,
Wisnu Setiawan
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
9 TAHUN 2010
TENTANG
KEPROTOKOLAN
I.
UMUM
Negara menghormati kedudukan para
Pejabat Negara, Pejabat Pemerintahan, perwakilan negara asing dan/atau
organisasi internasional, serta Tokoh Masyarakat Tertentu dengan Tata Pengaturan
mengenai Keprotokolan. Pengaturan Keprotokolan tersebut perlu disesuaikan
dengan dinamika yang tumbuh dan berkembang dalam sistem ketatanegaraan, budaya,
dan tradisi bangsa.
Perubahan ketatanegaraan di Indonesia
setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berimplikasi
pada perubahan pengaturan keprotokolan negara. Perubahan mendasar antara lain
diwujudkan dengan ditiadakannya lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi
negara yang selanjutnya menjadi lembaga negara. Perubahan tersebut dan dengan
telah disahkannya berbagai Undang-Undang baru menghasilkan lembaga baru yang
belum diatur keprotokolannya dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi.
Pengaturan Keprotokolan juga diperlukan terhadap lembaga negara yang secara
tegas ditentukan dalam Undang-Undang.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1987
tentang Protokol pada saat ini sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan system
ketatanegaraan sehingga diperlukan Undang-Undang baru dalam rangka
penyempurnaan pengaturan mengenai Keprotokolan khususnya mengenai Tata Tempat,
Tata Upacara, dan Tata Penghormatan kepada Pejabat Negara, Pejabat
Pemerintahan, perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional, Tokoh Masyarakat
Tertentu, dan/atau tamu negara sesuai dengan kedudukan dalam negara, pemerintahan,
dan masyarakat.
Ruang lingkup pengaturan dalam
Undang-Undang ini meliputi Tata Tempat, Tata Upacara, dan Tata Penghormatan
yang diberlakukan dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi bagi Pejabat Negara,
Pejabat Pemerintahan, perwakilan negara asing dan/atau organisasi
internasional, serta Tokoh Masyarakat tertentu.
Pengaturan Keprotokolan dalam
Undang-Undang ini berasaskan kebangsaan, ketertiban dan kepastian hukum,
keseimbangan, serta keselarasan dan timbal balik yang bertujuan:
a. memberikan penghormatan kepada Pejabat Negara, Pejabat Pemerintahan,
perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional, Tokoh Masyarakat
Tertentu, dan/atau Tamu Negara sesuai dengan kedudukan dalam negara,
pemerintahan, dan masyarakat;
b. memberikan pedoman penyelenggaraan suatu acara agar berjalan tertib,
rapi, lancar, dan teratur sesuai dengan ketentuan dan kebiasaan yang berlaku,
baik secara nasional maupun internasional; dan
c. menciptakan hubungan baik dalam tata pergaulan antarbangsa.
Dalam
Undang-Undang ini diatur mengenai penyelenggaraan Acara Kenegaraan dan Acara
Resmi yang dilaksanakan sesuai dengan Tata Tempat, Tata Upacara, dan Tata
Penghormatan baik dalam upacara bendera maupun bukan upacara bendara.
Penyelenggara Acara Kenegaraan dilaksanakan oleh Panitia Negara yang diketuai
oleh menteri yang membidangi urusan kesekretariatan negara, sedangkan penyelenggara
Keprotokolan Acara Resmi dilakukan oleh:
12. lembaga negara yang kewenangannya disebutkan dalam Undang- Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
13. lembaga negara yang dibentuk dengan atau dalam Undang- Undang;
14. kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian;
15. instansi pemerintah pusat dan daerah; dan
16. organisasi lain.
Undang-Undang ini mengatur pula
mengenai tata upacara bendera dalam penyelenggaraan Acara Kenegaraan dan Acara
Resmi yang meliputi tata urutan upacara bendera, tata bendera negara dalam upacara
bendera, tata lagu kebangsaan dalam upacara bendera, dan tata pakaian dalam
upacara bendera.
Ketentuan mengenai Keprotokolan bagi
Tamu Negara, tamu pemerintah dan/atau tamu lembaga negara lain yang berkunjung
ke negara Indonesia merupakan penghormatan kepada negaranya dan dilaksanakan
sesuai dengan asas timbal balik, norma-norma, dan/atau kebiasaan dalam
pergaulan internasional dengan tetap memperhatikan nilai sosial dan budaya
bangsa Indonesia yang berkembang, tanpa mengabaikan kebiasaan yang berlaku
dalam pergaulan internasional.
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup
jelas.
Pasal 2
Huruf a
Yang
dimaksud dengan “kebangsaan” adalah keprotokolan harus mencerminkan sifat dan
watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga
prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
Huruf b
Yang
dimaksud dengan “ketertiban dan kepastian hukum'' adalah keprotokolan harus
dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui adanya kepastian hukum.
Huruf c
Yang
dimaksud dengan “keseimbangan, keserasian, dan keselarasan” adalah keprotokolan
harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan
individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.
Huruf d
Yang
dimaksud dengan “timbal balik” adalah keprotokolan diberikan setimpal atau
balas jasa terhadap keprotokolan dari negara lain.
Pasal 3
Cukup
jelas.
Pasal 4
Cukup
jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Yang
dimaksud dengan ”situasi dan kondisi tertentu”, antara lain, kondisi tempat dan
ruangan yang tersedia, hujan yang berkepanjangan, gempa, banjir, longsor,
bencana lainnya.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Yang
dimaksud dengan “panitia negara” adalah panitia yang susunan keanggotaannya
ditetapkan dengan keputusan presiden untuk melaksanakan Acara Kenegaraan.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Pasal 7
Cukup
jelas.
Pasal 8
Cukup
jelas.
Pasal 9
Ayat
(1)
Huruf a
Cukup
jelas.
Huruf b
Cukup
jelas.
Huruf c
Cukup
jelas.
Huruf d
Cukup
jelas.
Huruf e
Cukup
jelas.
Huruf f
Cukup
jelas.
Huruf g
Cukup
jelas.
Huruf h
Cukup
jelas.
Huruf i
Cukup
jelas.
Huruf j
Cukup
jelas.
Huruf k
Cukup
jelas.
Huruf l
Yang
dimaksud dengan ”Kepala Perwakilan Negara Asing” adalah orang yang ditugaskan
oleh Negara pengirim bagi Negara Republik Indonesia untuk bertindak sesuai
dengan tugas pokok dan fungsinya.
Yang
dimaksud dengan ”Kepala Organisasi Internasional” adalah orang yang ditunjuk
sebagai kepala organisasi antar pemerintah untuk bertindak sesuai dengan tugas
pokok dan fungsinya.
Huruf m
Yang
dimaksud dengan ”Badan Penyelenggara Pemilihan Umum” adalah Komisi Pemilihan
Umum dan Badan Pengawas Pemilihan Umum.
Huruf n
Pejabat
setingkat menteri adalah pejabat yang ditetapkan oleh Presiden berdasarkan
peraturan perundang-undangan seperti: Jaksa Agung, Panglima Tentara Nasional
Indonesia, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri).
Pengertian
pejabat setingkat menteri dalam Undang-Undang ini hanya terkait dengan Tata
Tempat pada Acara Kenegaraan dan Acara Resmi di Ibukota Negara Republik
Indonesia.
Huruf o
Cukup
jelas.
Hurup p
Yang
dimaksud dengan “pemimpin partai politik”, adalah ketua umum atau sebutan lain,
pemimpin tertingggi partai politik sesuai dengan anggaran dasar/anggaran rumah
tangga partai politik.
Huruf q
Cukup
jelas.
Huruf r
Cukup
jelas.
Huruf s
Cukup
jelas.
Huruf t
Yang
dimaksud dengan ”pemilik tanda jasa dan tanda kehormatan’’ adalah pemilik tanda
kehormatan Bintang Republik Indonesia.
Huruf u
Cukup
jelas.
Huruf v
Cukup
jelas.
Huruf w
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Pasal 10
Ayat
(1)
Huruf a
Cukup
jelas.
Huruf b
Cukup
jelas.
Huruf c
Cukup
jelas.
Huruf d
Yang
dimaksud dengan “nama lainnya” adalah Dewan Perwakilan Rakyat Aceh di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua di Provinsi Papua
dan Provinsi Papua Barat.
Huruf e
Cukup
jelas.
Huruf f
Cukup
jelas.
Huruf g
Cukup
jelas.
Huruf h
Yang
dimaksud dengan “pemimpin partai politik”, adalah ketua umum atau sebutan lain,
pemimpin tertingggi partai politik sesuai dengan anggaran dasar/anggaran rumah
tangga partai politik.
Huruf i
Cukup
jelas.
Huruf j
Cukup
jelas.
Huruf k
Cukup
jelas.
Huruf l
Yang
dimaksud dengan “pemuka agama di tingkat provinsi” adalah Ketua Majelis Ulama
Indonesia, Ketua Konferensi Wali Gereja Indonesia, Ketua Persekutuan Gereja-gereja
Indonesia, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia, Ketua Perwalian Umat Budha
Indonesia, dan Ketua Umum Organisasi Keagamaan yang diakui oleh peraturan
perundang-undangan di provinsi.
Yang
dimaksud dengan “pemuka adat” adalah tokoh atau pemimpin kesatuan masyarakat
adat dengan penyebutan nama jabatan adat dan/atau nama tokoh atau gelar pada
suatu daerah tertentu.
Tokoh
masyarakat tertentu di provinsi antara lain rektor perguruan tinggi setempat.
Huruf m
Cukup
jelas.
Huruf n
Cukup
jelas.
Huruf o
Cukup
jelas.
Huruf p
Cukup
jelas.
Huruf q
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Yang
dimaksud dengan “penyelenggara negara”, antara lain, Pejabat Negara dan Pejabat
Pemerintahan yang hadir dalam Acara Resmi di provinsi.
Pasal 11
Ayat
(1)
Huruf a
Cukup
jelas.
Huruf b
Cukup
jelas.
Huruf c
Cukup
jelas.
Huruf d
Yang
dimaksud dengan “nama lainnya” adalah dewan perwakilan rakyat kabupaten/kota di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Huruf e
Cukup
jelas.
Huruf f
Cukup
jelas.
Huruf g
Yang
dimaksud dengan ”pimpinan partai politik di kabupaten/kota” adalah ketua
wilayah atau sebutan lain pemimpin tertinggi partai politik di kabupten/kota sesuai
dengan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga partai politik.
Huruf h
Cukup
jelas.
Huruf i
Yang
dimaksud dengan ”pemuka agama di tingkat kabupaten/kota” adalah Ketua Majelis
Ulama Indonesia, Ketua Konferensi Wali Gereja Indonesia, Ketua Persekutuan
Gereja-gereja Indonesia, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia, Ketua Perwalian
Umat Budha Indonesia, dan Ketua Umum Organisasi Keagamaan yang diakui oleh
peraturan perundang-undangan di kabupaten/kota.
Yang
dimaksud dengan “pemuka adat” adalah tokoh atau pemimpin kesatuan masyarakat
adat dengan penyebutan nama jabatan adat dan/atau nama tokoh atau gelar pada
suatu daerah tertentu.
Tokoh
masyarakat tertentu di kabupaten/kota antara lain rektor perguruan tinggi.
Huruf j
Cukup
jelas.
Huruf k
Cukup
jelas.
Huruf l
Cukup
jelas.
Huruf m
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Yang
dimaksud dengan “penyelenggara negara”, antara lain, Pejabat Negara dan Pejabat
Pemerintahan yang hadir dalam Acara Resmi di kabupaten/kota.
Pasal 12
Cukup
jelas.
Pasal 13
Huruf a
Yang
dimaksud dengan “tuan rumah” adalah gubernur, dan/atau bupati/walikota sebagai
kepala daerah yang menyelenggarakan Acara Resmi di provinsi atau kabupaten/kota.
Huruf b
Pejabat
pemerintah yang tertinggi didasarkan pada tingkat eselonisasi.
Pasal 14
Cukup
jelas.
Pasal 15
Cukup
jelas.
Pasal 16
Cukup
jelas.
Pasal 17
Cukup
jelas.
Pasal 18
Cukup
jelas.
Pasal 19
Huruf a
Pengibaran
bendera diiringi dengan lagu kebangsaan pada pagi hari dilakukan menjelang
detik-detik proklamasi.
Huruf b
Cukup
jelas.
Huruf c
Cukup
jelas.
Huruf d
Cukup
jelas.
Huruf e
Cukup
jelas.
Pasal 20
Huruf a
Pengibaran
bendera diiringi dengan lagu kebangsaan pada pagi hari dilakukan menjelang
detik-detik proklamasi.
Huruf b
Cukup
jelas.
Huruf c
Cukup
jelas.
Huruf d
Cukup
jelas.
Huruf e
Cukup
jelas.
Pasal 21
Huruf a
Pelaksanaan
upacara penurunan bendera dilakukan dengan menghormati waktu kegiatan
keagamaan.
Huruf b
Cukup
jelas.
Huruf c
Cukup
jelas.
Pasal 22
Cukup
jelas.
Pasal 23
Cukup
jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang
dimaksud dengan “inspektur upacara” pada ayat ini adalah pembina upacara atau
sebutan lainnya.
Huruf b
Yang
dimaksud dengan “komandan upacara” pada ayat ini adalah pemimpin upacara atau
sebutan lainnya.
Huruf c
Yang
dimaksud dengan “perwira upacara” pada ayat ini adalah penanggung jawab upacara
atau sebutan lainnya.
Huruf d
Cukup
jelas.
Huruf e
Cukup
jelas.
Huruf f
Cukup
jelas.
Huruf g
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Pasal 25
Yang
dimaksud dengan ”situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan”, antara lain,
hujan yang berkepanjangan, gempa, banjir, longsor, atau bencana alam lain.
Pasal 26
Cukup
jelas.
Pasal 27
Cukup
jelas.
Pasal 28
Cukup
jelas.
Pasal 29
Cukup
jelas.
Pasal 30
Cukup
jelas.
Pasal 31
Cukup
jelas.
Pasal 32
Cukup
jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang
dimaksud dengan “kunjungan kenegaraan” adalah kunjungan yang dilakukan oleh
kepala negara (raja, presiden, sultan, ratu, paus, atau yang dipertuan agung) dalam
suatu periode masa jabatan dan baru pertama kali diadakan dengan tujuan
memperkenalkan diri atau mengawali suatu perjanjian kerja sama kedua Negara dalam
bidang tertentu.
Huruf b
Yang
dimaksud dengan “kunjungan resmi” adalah kunjungan yang dilakukan oleh kepala
pemerintahan (perdana menteri, kanselir) untuk pertama kalinya atau kunjungan
kepala negara untuk kedua kalinya atau lebih dengan tujuan menindaklanjuti atau
mengembangkan suatu perjanjian kerja sama yang disepakati sebelumnya atau
berdasarkan undangan negara yang bersangkutan.
Huruf c
Yang
dimaksud dengan “kunjungan kerja” adalah kunjungan yang ketiga kali atau lebih
oleh kepala negara/pemerintahan ke negara yang sama atau dalam rangka
menghadiri pertemuan-pertemuan internasional, seperti konferensi tingkat
tinggi.
Huruf d
Yang
dimaksud dengan “kunjungan pribadi” adalah kunjungan yang dilakukan karena
keperluan pribadi/khusus dan semaksimal mungkin mengurangi hal-hal yang
bersifat keprotokolan.
Pasal 34
Cukup
jelas.
Pasal 35
Cukup
jelas.
Pasal 36
Cukup
jelas.
Pasal 37
Cukup
jelas.
Pasal 38
Cukup
jelas.
Pasal 39
Cukup
jelas.
No comments:
Post a Comment