BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat berkembang semakin kompleks. Sasaran, bidang garapan dan
intervensi pekerjaan social juga semakin luas. Globalisasi dan industrialisasi
telah membuka kesempatan bagi pekerja social untuk terlibat dalam bidang yang
relative baru, yakni dunia industry. Dunia industry kini sedang menggali
manfaat- manfaat positif dari adanya pekerja social industry, baik terhadap
aspek financial ataupun relasi social dengan para pekerja dan masyarakat.
Namun, tidak berlaku bagi pelaku usaha
asing. Kegiatan sosial kemasyarakatan yang dilakukan secara sukarela itu, sudah
biasa dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional ratusan tahun lalu. Tuntutan
masyarakat dan perkembangan demokrasi serta derasnya arus globalisasi dan pasar
bebas, sehingga memunculkan kesadaran dari dunia industri tentang pentingnya
melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (TSP).
Kondisi tersebut makin populer tatkala DPR
mengetuk palu tanda disetujuinya klausul CSR masuk ke dalam UU No. 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan UU No. 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal (UU PM). Pasal 74 UU PT yang menyebutkan bahwa setiap
perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan
dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan
lingkungan. Jika tidak dilakukan, maka perseroan tersebut bakal dikenai sanksi
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Tentu saja kedua ketentuan undang-undang
tersebut membuat fobia sejumlah kalangan terutama pelaku usaha lokal. Apalagi
munculnya Pasal 74 UU PT yang terdiri dari 4 ayat itu sempat mengundnag
polemik. Pro dan kontra terhadap ketentuan tersebut masih tetap berlanjut
sampai sekarang. Kalangan pelaku bisnis yang tergabung dalam Kadin
dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang sangat keras menentang kehadiran
dari pasal tersebut. Pertanyaan yang selalu muncul adalah kenapa TSP harus
diatur dan menjadi sebuah kewajiban ? Alasan mereka adalah TSP kegiatan
di luar kewajiban perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam
perundang-undangan formal, seperti : ketertiban usaha, pajak atas keuntungan
dan standar lingkungan hidup. Jika diatur sambungnya selain bertentangan dengan
prinsip kerelaan, TSP juga akan memberi beban baru kepada dunia usaha. Apalagi
kalau bukan menggerus keuangan suatu perusahaan.
Pikiran-pikiran yang menyatakan kontra
terhadap pengaturan TSP menjadi sebuah kewajiban, disinyalir dapat menghambat
iklim investasi baik bagi perseroan yang sudah ada maupun yang akan masuk ke
Indonesia. Atas dasar berbagai pro dan kontra itulah tulisan ini diangkat untuk
memberikan urun rembug terhadap pemahaman TSP dalam perspektif kewajiban hukum.
1.2 Rumusan Masalah
1. Pengertian Tanggung jawab Sosial
Perusahaan atau Corporate Social Responsibility
2. Motif
Tanggung jawab Sosial Perusahaan
3. Pengembangan Masyarakat dalam Tanggung jawab
Sosial Perusahaan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Definisi Tanggung jawab Sosial Perusahaan
Schermerhorn (1993) memberi definisi Tanggung jawab Sosial Perusahaan (TSP) sebagai suatu
kepedulian organisasi bisnis untuk bertindak dengan cara-cara mereka sendiri
dalam melayanai kepentingan organisasi dan kepentingan public eksternal.
Secara konseptual, TSP adalah pendekatan
dimana perusahaan mengintegarasikan kepedulian sosial dalam operasi bisnis dan
interaksi mereka dengan para pemangku kepentingan
(stakeholders) berdasarkan
prinsip kesukarelaan dan kemitraan. (Nuryana, 2005). Meskipun sesungguhnya memiliki pendekatan
yang relative berbeda, beberapa nama lain yang memiliki kemiripan atau bahkan
identik dengan TSP antara lain, Investasi Sosial Perusahaan
(corporate
social Investment/investing), pemberian perusahaan (Corporate Giving), kedermawanan Perusahaan (Corporate Philantropy ).
Tanggung jawab Sosial Perusahaan atau
Corporate Social Responsibility adalah suatu konsep bahwa organisasi, khususnya
(namun bukan hanya) perusahaan adalah memiliki suatu tanggung jawab terhadap
konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek
operasional perusahaan. TSP berhubungan erat dengan "pembangunan
berkelanjutan", di mana ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam
melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata
berdasarkan faktor keuangan, misalnya keuntungan atau deviden melainkan juga
harus berdasarkan konsekuensi sosialdan lingkungan untuk saat ini maupun untuk
jangka panjang.
Istilah TSP yang mulai dikenal sejak tahun
1970-an, saat ini menjadi salah satu bentuk inovasi bagi hubungan
perusahaan dengan masyarakat dan konsumen. TSP kini banyak diterapkan baik oleh
perusahaan multi-nasional maupun perusahaan nasional atau lokal. TSP
adalah tentang nilai dan standar yang berkaitan dengan beroperasinya
sebuah perusahaan dalam suatu masyarakat. TSP diartikan sebagai komitmen
usaha untuk beroperasi secara legal dan etis yang berkonstribusi pada
peningkatan kualitas kehidupan karyawan dan keluarganya,komunitas lokal dan
masyarakat luas dalam kerangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan. TSP
berakar dari etika dan prinsip-prinsip yang berlaku di Perusahaan dan di masyarakat.
Etika yang dianut merupakan bagian dari budaya (corporateculture) dan etika
yang dianut masyarakat merupakan bagian dari budayamasyarakata.
Prisnsip-prinsip atau azas yang berlaku di masyarakat juga
termasuk berbagai peraturan dan regulasi pemerintah sebagai bagian
dari sistemketatanegaraan.
Perlukah TSP diatur?
Di tingkat internasional, TSP muncul
karena pihak perusahaan mendapat tekanan dari masyarakat madani terkait dengan
dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan perusahaan. Karena tekanan tersebut,
perusahaan mulai melakukan program TSP sebagai respons. Pelaksanaan program TSP
biasanya bersifat sukarela dan didorong oleh berbagai standar penilaian
internasional, antara lain ISO 9001 (sistem manajemen mutu) dan ISO 14001
(sistem manajemen lingkungan). Standar penilaian yang saat ini sedang
dinantikan berbagai pihak adalah ISO 26000 (pedoman tanggung jawab sosial).
Standar ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi semua negara dan berbagai
pihak yang mengembangkan konsep TSP. Salah satu hal yang menunjukkan kemajuan
ISO 26000 adalah tidak hanya pihak perusahaan saja yang dituntut bertanggung
jawab terhadap aspek sosial dan lingkungan, tetapi juga semua stakeholder,
seperti pemerintah, akademisi, masyarakat, dan LSM tergantung pada konteksnya.
Setidaknya, ada tujuh subyek inti yang diatur dalam ISO 26000, yakni lingkungan,
hak asasi manusia, praktik ketenagakerjaan, tata kelola organisasi, praktik
operasional yang adil, konsumen, pelibatan dan pengembangan masyarakat.
Di tingkat nasional, UU No. 40 Tahun 2007
telah mengubah TSP menjadi sebuah tanggung jawab yang bersifat wajib. Namun,
sampai saat ini belum ada peraturan pemerintah yang secara rinci mengatur pelaksanaannya.
Pada prinsipnya TSP hanya bisa diterapkan secara efektif jika terdapat hal-hal berikut:
·
Perusahaan mempunyai kesadaran untuk
mengoptimalkan dampak positif dan meminimalkan dampak negatif kegiatan usaha
terhadap kehidupan sosial dan lingkungan;
·
Masyarakat madani mempunyai kepedulian
terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi akibat kegiatanperusahaan;
·
Masyarakat madani mempunyai kepedulian
terhadap kewajiban dan hak-haknya terkait dengan kehadiran sebuah perusahaan;
·
Akses informasi (program/kegiatan dan
anggaran) terbuka untuk publik;
·
Penegakan hukum;
·
Mekanisme insentif dan disinsentif
berjalan dengansemestinya.
Untuk itu pemerintah juga mengeluarkan
peraturan yang mengenai tanggung jawab sosial, yang diatur dalam Undang-Undang
R.I. No. 40 tahun 2007 pasal 74 tentang “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan”,
yang berisi :
1. Perseroan
yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber
daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
2. Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) merupakan
kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan
yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
2.2 Perkembangan
dan Motif Tanggung jawab Sosial Perusahaan
Sebagaimana dinyatakan Porter
dan Kramer (2002) diatas, Pendapat yang menyatakan bahwa tujuan ekonomi
dan sosial adalah terpisah dan bertentangan adalah pandangan yang keliru.
Perusahaan tidak berfungsi secara terpisah dari masyarakat sekitarnya. Oleh
karena itu Piramida Tanggungjawab Sosial Perusahaan yang dikemukakan oleh Archie
B. Carrol harus dipahami sebagai satu kesatuan.
Karenanya secara konseptual, TSP merupakan
Kepedulian perusahaan yang didasari 3
prinsip dasar yang dikenal dengan istilah Triple Bottom Lines yaiu,
3P :
1. Profit,
perusahaan tetap harus berorientasi untuk mencari keuntungan ekonomi yang
memungkinkan untuk terus beroperasi dan berkembang.
2. People,
Perusahaan harus memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan manusia. Beberapa
perusahaan mengembangkan program
CSR seperti pemberian
beasiswa bagi pelajar sekitar
perusahaan, pendirian sarana
pendidikan dan kesehatan,
penguatan kapasitas ekonomi
lokal, dan bahkan ada perusahaan yang merancang
berbagai skema perlindungan
sosial bagi warga setempat
3. Plannet,
Perusahaan peduli terhadap lingkunga hidup dan berkelanjutan keragaman hayati.
Beberapa program TSP yan berpijak pada prinsip ini biasanay berupa penghijaunan
lingkungan hidup, penyediaan sarana air bersih, perbaikan permukiman,
pengembangan pariwisata (ekoturisme ) dll.
Secara Tradisional, para teoritisi maupun pelaku bisnis memiliki interprestasi yang keliru mengenai
keuntungan ekonomi perusahaan. Pada
umumnya mereka berpendapat mencari laba adalah hal yang harus diutamakan dalam
perusahaan. Diluar mencari laba hanya akan menggangu efisiensi dan
efektifitas perusahaan. Karena seperti yang dinyatakan Milton Friedman,
Tanggungjawab Sosial Perusahaan tiada lain dan harus merupakan usaha mencari
laba itu sendiri (Saidi dan Abidan
(2004:60).
Pembangunan Berkelanjutan (Sustainability
development) dapat juga berarti menjaga pertumbuhan jumlah penduduk yang tetap
sepadan dengan kapasitas produksi sesuai dengan daya dukung lingkungan. Dengan
demikian pembangunan berkelanjutan merupakan integrasi dari cita ideal untuk
memenuhi kebutuhan generasi kini secara merata (intra-generational equity),
hal ini menentukan tujuan pembangunan, dan memenuhi kebutuhan generasi kini dan
generasi mendatang secara adil (inter-generational equity) menentukan
tujuan kesinambungan.
Pembangunan berkelanjutan sebagai sarana
untuk menjaga keseimbangan antara jumlah
penduduk dan kemampuan produksi sesuai daya dukung lingkungan mengindikasikan
adanya keterbatasan sumber daya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan dan persyaratan
keseimbangan dalam pelaksanaan pembangunan untuk mencapai kondisi kesinambungan
yang akan berubah sesuai situasi dan kondisi serta waktu. Pada intinya
pembangunan berkelanjutan memiliki dua unsur pokok yaitu kebutuhan yang wajib
dipenuhi terutama bagi kaum miskin, dan kedua adanya keterbatasan sumber daya
dan teknologi serta kemampuan organisasi sosial dalam memanfaatkan lingkungan
untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan masa mendatang. Untuk itu Komisi
Brandtland memberikan usulan penting dalam pembangunan berkelanjutan yaitu
adanya keterpaduan konsep politik untuk melakukan perubahan yang mencakup
berbagai masalah baik sosial, ekonomi maupun lingkungan. Pembangunan
berkelanjutan perlu dilakukan karena dorongan berbagai hal, salah satunya
adalah kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh pelaksanaan pembangunan.
Pengalaman negara maju dan negara berkembang menunjukkan bahwa pembangunan
selain mendorong kemajuan juga menyebabkan kemunduran karena dapat
mengakibatkan kondisi lingkungan rusak sehingga tidak lagi dapat mendukung
pembangunan. Pelaksanaan pembangunan akan berhasil baik apabila didukung oleh
lingkungan (sumber daya alam) secara memadai.
Apa yang memotivasi perusahaan
melakukan TSP ?
Saidi dan Abidin ( 2004:69) membuat matriks yang
menggambarkan tiga tahap atau paradigma
yang berbeda, diantaranya :
1. Corporate
Charity, yakni dorongan amal berdasarakan motivasi keagamaan.
2. Corporate
Philanthropy,yakni dorongan kemanusiaan yang biasanya bersumber dari norma dan
etika universal untuk menolong sesama dan memperjuangkan kemerataan sosial.
3. Corporate
Citizenship, yakni motivasi kewargaan demi mewujudkan keadilan social
berdasarkan prinsip keterlibatan social.
Jika dipetakan, tampaklah bahwa spectrum
paradigm ini terentang dari “sekedar
menjalankan kewajiban” hingga “ demi
kepentingan bersama “ atau dari “
membantu dan beramal kepada sesama” menjadi “memberdayakan manusia”. Meskipun tidak selalu berlaku otomatis,
pada umumnya perusahaan melakukan TSP didorong oleh motivasi Karitatif kemudian
kemanusiaan dan akhirnya kewargaan.
Motivasi
|
Tahapan/Paradigma
|
||
Karitatif
|
Filantropis
|
Kewargaan
|
|
Semangat/Prinsip
|
Agama, Tradisi, Adat
|
Norma, etika, dan hukum universal:
redistribusi kekayaan
|
Pencerahan diri dan rekonsiliasi dengan ketertiban
sosial
|
Misi
|
Mengatasi masalah sesaat/saat itu
|
Menolong sesama
|
Mencari dan mengatai akar masalah :
memberikan kotribusi kepada masyarakat
|
Pengelolaan
|
Jangka Pendek dan Parsial
|
Terencana,terorganisasi, dan terprogram
|
Terinternalisasi dalam kebijakan perusahaan
|
Pengorganisasian
|
Kepanitiaan
|
Yayasan/ dana abadi
|
Professional : keterlibatan tenaga-tenaga
ahli didalamnya
|
Penerima Manfaat
|
Orang Miskin
|
Masyarakat Luas
|
Masyarakat luas dan perusahaan
|
Kontibusi
|
Hibah sosial
|
Hibah pembangunan
|
Hibah sosial maupun pembangunan dan
keterlibatan sosial
|
Inspirasi
|
Kewajiban
|
Kemanusiaan
|
Kepntingan bersama
|
2.3 Mode
Tanggungjawab Sosial Perusahaan
Menurut
Saidi dan Abidin ( 2004:64-65) ada empat model pola TSP di Indonesia :
1.
Keterlibatan langsung, Perusahaan menjalankan program TSP secara
langsung dengan menyelengarakan sendiri kegaiatn social atau menyerahkan
sumbangan ke masyarakat tanpa perantara.
2.
Melalui yayasan atau organisasi sosial
perusahaan, Perusahaan
mendirikan yayasan sendiri dibawah perusahaan atau grupnya. Model ini merupaka
adopsi dari model yang lazm diterapkan di perusahaan-perusahaan di negara maju.
3.
Bermitra dengan pihak lain, Perusahaan menyelenggarakan TSP melalui
kerjasama dengan lembaga sosial atau organisasinn pemerintah (Ornop), Instansi
Pemerintah, Universitas atau media masa, baik dalam mengelola dana maupun dalam
melaksanakan kegiatan sosialnya.
4.
Mendukung atau bergabung dalam suatu
Konsorsium, perusahaan turut
mendirikan, menjadi anggota atau mendukung suatu lembaga social yang didirikan
untuk tujuan social tertentu.
Jenis kegiatan TSP berdasarkan jumlah kegiatan
dan dana
No.
|
Jenis/Sektor Kegiatan
|
Jumlah Kegiatan
|
Jumlah Dana (rupiah)
|
1
|
Pelayanan Sosial
|
95 kegiatan(34,1 % )
|
38 miliar (33,0 % )
|
2
|
Pendidikan dan Penelitian
|
71 kegiatan(25,4 % )
|
66,8 miliar (57,9 % )
|
3
|
Kesehatan
|
46 kegiatan(16,4 % )
|
4,4 miliar (3, 8% )
|
4
|
Kedaruratan (emergency)
|
30 kegiatan(10,8 % )
|
2,9 miliar (2,5 % )
|
5
|
Lingkungan
|
15 kegiatan(5,4 % )
|
395 juta (0,3 % )
|
6
|
Ekonomi Produktif
|
10 kegiatan(3,6 % )
|
640 juta ( 0,6 % )
|
7
|
Seni, olahraga dan pariwisata
|
7 kegiatan(2,5 % )
|
1 miliar ( 0,9 % )
|
8
|
Pembangunan prasarana, perumahan
|
5 kegiatan(1,8 % )
|
1,3 miliar (1,0 % )
|
9
|
Hokum, advokasi, politik
|
0
|
0
|
|
JUMLAH
|
279
Kegiatan
|
115,3
miliar
|
2.4 Comdev
dan Pemberdayaan Masyarakat
Sebagaimana
dijelaskan dimuka, konsep TSP seringkali diidentikkan dengan metoda
Pengembangan Masyarakat ( Community Develompment ) yang
akhir-akhir ini banyak diterapkan oleh Perusahaan dengan istilah Comdev. Dilihat dari motivasi dan
paradigm TSP diatas, maka sesungguhnya Pendekatan Comdev
merupaka salah satu bentuk TSP yang lebih banyak didorong oleh motivasi
kewargaan, meskipun pada beberapa aspek lain masih diwarnai oleh motivasi
filantropis.sebagai ilustrasi, Comdev berangkat
dari pendayagunaan hibah pembangunan yang dicirikan oleh adanya langkah
proaktif beberapa pihak dan kemampuan mereka dalam mengelola program dalam
merespon kebutuhan masyarakat disuatu tempat. Hibah pembangunan merujuk pada
bantuan selektif pada satu lembaga nirlaba yang menjalankan satu kegiatan yang
sejalan dengan pemberi bantuan yang dalam hal ini adalah perusahaan.
Sedangkan
kegiatan-kegiatan amal atau karitatif yang bergaya sinterklas, lebih banyak
didorong oleh motivasi karitatif dan pendayagunaan hibah sosial. Hibah Sosial adalah bantuan kepada
suatu lembaga sosial guna menjalankan kegiatan-kegiatan sosial, pendidikan,
sedekah, atau kegiatan untuk kemaslahatan umat dnegan hak pengelolaaan hibah sepenuhnya pada penerima. Saidi dan Abidin ( 2004:61).
Kalau
ditelaah secara seksama, maka tujuan utama pendekatan Comdev adalah bukan sekedar membantu atau memberi barang kepada si
penerima. Melainkan berusaha agar si penerima memiliki kemamuan atau kapasitas
untuk mampu menolong dirinya sendiri. Dengan kata lain, semangat utama Comdev
adalah Pemberdayaan Masyarakat. Oleh
karena itu kegiatan Comdev biasanya
diarahkan pada proses pemerkuasaan, peningktan kekuasaan, atau penguatan
kemampuan para penerima pelayanan.
Pemberdayaan
masyarakat ini pada dasarnya merupakan kegiatan terencana dan kolektif dalam
memperbaiki kehidupan masyarakat yang dilakukan melalui program peningkatan
kapasitas orang, terutama kelompok lemah atau kurang beruntung(disadvantaged groups ) agar mereka memiliki
kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya, mengemukakan gagasan, melakukan
pilihan-pilihan hidup, melaksanakan kegiatan ekonomi, menjangaku dan
memobilisai sumber, serta berpartisipasi dalam kegiatan social.
Meskipun
pemberdayaan masyarakat dpat dilakukan terhadap semua kelompok atau kelas
masyarakat, namun pada umumnya pemerdayaan dilakukan terhadap kelompok
masyarakat yang dianggap lemah atau kurang berdaya yang memiliki karakteristik
lemah atau rentan dalam aspek :
1.
Fisik : Orang dengan kecatatan dan kemampuan khusus.
2.
Psikologis : Orang yang mengalami masalah personal dan penyesuaian diri.
3.
Finansial : Orang yang tidak memiliki Pekerjaan, pendapatan, modal, dan asset
yang mampu menopang kehidupannya.
4.
Struktural : Orang yang mengalami diskriminasi dikarenakan status sosialnya,
gender, etnis,orientasi sosial, dan pilihan politiknya.
Selanjutnya,
melalui program-program pelatihan, pemberian modal usaha, perluasan akses
terhadap pelayanan sosial, dan peningkatan kemandirian, proses pemberdayaan diarahkan
agar kelompok lemah tersebut mimiliki kemampuan atau keberdayaan. Keberdayaan
disini bukan saja dalam arti fisik atau ekonomi, melainkan pula dalam arti
psikologis dan sosial, seperti :
·
Memiliki
sumber pendapatan yang dapat menopang kebutuhan diri dan keluarganya.
·
Mampu
mengemukakan gagasan didalam keluarga mauoun didepan umum.
·
Memiliki
mobilitas yang cukup luas : pergi keluar rumah atau wilayah tempat tinggalnya.
·
Berpartisipasi
dalam kehidupan sosial.
·
Mampu
membuat keputusan dan menentukan pilihan-pilihan hidupnya.
Proses
Pemberdayaan Masyarakat dapat dilakukan melalui beberapa tahapan :
a.
Menentukan
populasi atau kelompok sasaran
b.
Mengidentifikasi
masalah dan kebutuhan kelompok sasaran
c.
Merancang
program kegiatan dan cara-cara pelaksanaannya
d.
Menentukan
sumber pendanaan
e.
Menentukan
dan mengajak pihak-pihak yang akan dilibatkan
f.
Melaksakan
kegiatan atau mengimplementasiakan program
g.
Dan,
memonitor dan mengevaluasi kegiatan.
Kegiatan-kegiatan
pemberdayaan biasanya dilakukan secara berkelompok dan terorganisir dengan
melibatkan beberapa strategi seperti pendidikan dan pelatihan keterampilan
hidup ( life skills ), ekonomi
produktif, perawatan social, penyadaran dan pengubahan sikap dan perilaku,
advokasi, pendampingan dan pembelaan hak-hak klien, aksi sosial,
sosialisasi,kampanye, demonstasi,kolaborasi, kontes, atau pengubahan kebijakan
publik agar lebih responsive terhadap kebutuhan kelompok sasaran.
Berbeda
dengan kegiatan Bantuan Sosial karitatif yang dicirikan oleh adanya hubungan “
patron-klien “ yang tidak seimbang, maka pemberdayaan masyarakat dalam program Comdev didasari oleh pendekatan yang
partisipatoris, humanis, emansipatoris yang berpijak pada beberapa prinsip
sebagai berikut :
1.
Bekerja
bersama berperan setara.
2.
Membantu
rakyat agar mereka bisa membantu dirinya sendiri dan orang lain.
3.
Pemberdayaan
bukan kegiatan satu malam.
4.
Kegiatan
diarahkan bukan saja untuk mendapat satu hasil, melainkan juga agar menguasai
prosesnya.
Agar
berkelanjutan, pemberdayaan jangan hanya berpusat pada komunitas lokal,
melainkan pula pada sistem sosial yang lebih luas termasuk kegiatan sosial.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Secara konseptual, TSP adalah pendekatan
dimana perusahaan mengintegarasikan kepedulian sosial dalam operasi bisnis dan
interaksi mereka dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan
prinsip kesukarelaan dan kemitraan. (Nuryana, 2005). Meskipun sesungguhnya
memiliki pendekatan yang relative berbeda, beberapa nama lain yang memiliki
kemiripan atau bahkan identik dengan TSP antara lain, Investasi Sosial
Perusahaan (corporate social
Investment/investing), pemberian perusahaan (Corporate Giving), kedermawanan Perusahaan (Corporate Philantropy). Untuk bisa mewujudkan TSP setiap pelaku usaha
(investor) baik dalam maupun asing yang melakukan kegiatan di wilayah RI
wajib melaksanakan aturan dan tunduk kepada hukum yang berlaku di Indonesia,
sebaliknya pemerintah sebagai regulator wajib dan secara konsisten menerapkan
aturan dan sanksi apabila ada pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan yang
tidak melaksanakan TSP sesuai dengan ketentuan undang-undang yang
berlaku.
3.2 Saran
Pemerintah perlu terus melakukan
sosialisasi kepada para pelaku usaha untuk menyamakan persepsi mengenai
pentingnya TSP dalam mewujudkan iklim penanaman modal di Indonesia. Dibutuhkan
konsistensi dan komitmen baik dari pemerintah maupun pelaku usaha (investor)
dalam melaksanakan TSP sebagai suatu kewajiban hukum.
DAFTAR
PUSTAKA
http://prokum.esdm.go.id/uu/2007/uu-40-2007.pdf
http://www.academia.edu/4800208/CSR
http://www.cifor.org/publications/pdf_files/infobrief/002_Brief.pdf
No comments:
Post a Comment