Friday, March 17, 2017

PERMASALAHAN TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN



BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang

     Masyarakat berkembang semakin kompleks. Sasaran, bidang garapan dan intervensi pekerjaan social juga semakin luas. Globalisasi dan industrialisasi telah membuka kesempatan bagi pekerja social untuk terlibat dalam bidang yang relative baru, yakni dunia industry. Dunia industry kini sedang menggali manfaat- manfaat positif dari adanya pekerja social industry, baik terhadap aspek financial ataupun relasi social dengan para pekerja dan masyarakat.
     Namun, tidak berlaku bagi pelaku usaha asing. Kegiatan sosial kemasyarakatan yang dilakukan secara sukarela itu, sudah biasa dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional ratusan tahun lalu. Tuntutan masyarakat dan perkembangan demokrasi serta derasnya arus globalisasi dan pasar bebas, sehingga memunculkan kesadaran dari dunia industri tentang pentingnya melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (TSP).
     Kondisi tersebut makin populer tatkala DPR mengetuk palu tanda disetujuinya klausul CSR masuk ke dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM).  Pasal 74 UU PT yang menyebutkan bahwa setiap perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Jika tidak dilakukan, maka perseroan tersebut bakal dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
     Tentu saja kedua ketentuan undang-undang tersebut membuat fobia sejumlah kalangan terutama pelaku usaha lokal. Apalagi munculnya Pasal 74 UU PT yang terdiri dari 4 ayat itu sempat mengundnag polemik. Pro dan  kontra terhadap ketentuan tersebut masih tetap berlanjut sampai sekarang. Kalangan pelaku bisnis yang tergabung dalam  Kadin  dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang sangat keras menentang kehadiran dari pasal tersebut. Pertanyaan yang selalu muncul adalah kenapa TSP harus diatur dan menjadi sebuah kewajiban ?  Alasan mereka adalah TSP kegiatan di luar kewajiban perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam perundang-undangan formal, seperti : ketertiban usaha, pajak atas keuntungan dan standar lingkungan hidup. Jika diatur sambungnya selain bertentangan dengan prinsip kerelaan, TSP juga akan memberi beban baru kepada dunia usaha. Apalagi kalau bukan menggerus keuangan suatu perusahaan.
     Pikiran-pikiran yang menyatakan kontra terhadap pengaturan TSP menjadi sebuah kewajiban, disinyalir dapat menghambat iklim investasi baik bagi perseroan yang sudah ada maupun yang akan masuk ke Indonesia. Atas dasar berbagai pro dan kontra itulah tulisan ini diangkat untuk memberikan urun rembug terhadap pemahaman TSP dalam perspektif kewajiban hukum.

1.2  Rumusan Masalah

1.      Pengertian Tanggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility
2.      Motif Tanggung jawab Sosial Perusahaan
3.      Pengembangan Masyarakat dalam Tanggung jawab Sosial Perusahaan








BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Definisi Tanggung jawab Sosial Perusahaan

     Schermerhorn (1993) memberi definisi Tanggung jawab Sosial Perusahaan (TSP) sebagai suatu kepedulian organisasi bisnis untuk bertindak dengan cara-cara mereka sendiri dalam melayanai kepentingan organisasi dan kepentingan public eksternal.
Secara konseptual, TSP adalah pendekatan dimana perusahaan mengintegarasikan kepedulian sosial dalam operasi bisnis dan interaksi mereka dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip kesukarelaan dan kemitraan. (Nuryana, 2005). Meskipun sesungguhnya memiliki pendekatan yang relative berbeda, beberapa nama lain yang memiliki kemiripan atau bahkan identik dengan TSP antara lain, Investasi Sosial Perusahaan (corporate social Investment/investing), pemberian perusahaan (Corporate Giving), kedermawanan Perusahaan (Corporate Philantropy ). 
     Tanggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility adalah suatu konsep bahwa organisasi, khususnya (namun bukan hanya) perusahaan adalah memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan. TSP berhubungan erat dengan "pembangunan berkelanjutan", di mana ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan faktor keuangan, misalnya keuntungan atau deviden melainkan juga harus berdasarkan konsekuensi sosialdan lingkungan untuk saat ini maupun untuk jangka panjang.
     Istilah TSP yang mulai dikenal sejak tahun 1970-an, saat ini menjadi salah satu bentuk inovasi bagi hubungan perusahaan dengan masyarakat dan konsumen. TSP kini banyak diterapkan baik oleh perusahaan multi-nasional maupun perusahaan nasional atau lokal. TSP adalah tentang nilai dan standar yang berkaitan dengan beroperasinya sebuah perusahaan dalam suatu masyarakat. TSP diartikan sebagai komitmen usaha untuk beroperasi secara legal dan etis yang berkonstribusi pada peningkatan kualitas kehidupan karyawan dan keluarganya,komunitas lokal dan masyarakat luas dalam kerangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan. TSP berakar dari etika dan prinsip-prinsip yang berlaku di Perusahaan dan di masyarakat. Etika yang dianut merupakan bagian dari budaya (corporateculture) dan etika yang dianut masyarakat merupakan bagian dari budayamasyarakata. Prisnsip-prinsip atau azas yang berlaku di masyarakat juga termasuk  berbagai peraturan dan regulasi pemerintah sebagai bagian dari sistemketatanegaraan.

Perlukah TSP diatur?
     Di tingkat internasional, TSP muncul karena pihak perusahaan mendapat tekanan dari masyarakat madani terkait dengan dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan perusahaan. Karena tekanan tersebut, perusahaan mulai melakukan program TSP sebagai respons. Pelaksanaan program TSP biasanya bersifat sukarela dan didorong oleh berbagai standar penilaian internasional, antara lain ISO 9001 (sistem manajemen mutu) dan ISO 14001 (sistem manajemen lingkungan). Standar penilaian yang saat ini sedang dinantikan berbagai pihak adalah ISO 26000 (pedoman tanggung jawab sosial). Standar ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi semua negara dan berbagai pihak yang mengembangkan konsep TSP. Salah satu hal yang menunjukkan kemajuan ISO 26000 adalah tidak hanya pihak perusahaan saja yang dituntut bertanggung jawab terhadap aspek sosial dan lingkungan, tetapi juga semua stakeholder, seperti pemerintah, akademisi, masyarakat, dan LSM tergantung pada konteksnya. Setidaknya, ada tujuh subyek inti yang diatur dalam ISO 26000, yakni lingkungan, hak asasi manusia, praktik ketenagakerjaan, tata kelola organisasi, praktik operasional yang adil, konsumen, pelibatan dan pengembangan masyarakat.
     Di tingkat nasional, UU No. 40 Tahun 2007 telah mengubah TSP menjadi sebuah tanggung jawab yang bersifat wajib. Namun, sampai saat ini belum ada peraturan pemerintah yang secara rinci mengatur pelaksanaannya. Pada prinsipnya TSP hanya bisa diterapkan secara efektif jika terdapat hal-hal berikut:
·         Perusahaan mempunyai kesadaran untuk mengoptimalkan dampak positif dan meminimalkan dampak negatif kegiatan usaha terhadap kehidupan sosial dan lingkungan;
·         Masyarakat madani mempunyai kepedulian terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi akibat kegiatanperusahaan;
·         Masyarakat madani mempunyai kepedulian terhadap kewajiban dan hak-haknya terkait dengan kehadiran sebuah perusahaan;
·         Akses informasi (program/kegiatan dan anggaran) terbuka untuk publik;
·         Penegakan hukum;
·         Mekanisme insentif dan disinsentif berjalan dengansemestinya.
     Untuk itu pemerintah juga mengeluarkan peraturan yang mengenai tanggung jawab sosial, yang diatur dalam Undang-Undang R.I. No. 40 tahun 2007 pasal 74 tentang “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan”, yang berisi :
1.      Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
2.      Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.

2.2  Perkembangan dan Motif Tanggung jawab Sosial Perusahaan

     Sebagaimana dinyatakan Porter dan Kramer (2002) diatas, Pendapat yang menyatakan bahwa tujuan ekonomi dan sosial adalah terpisah dan bertentangan adalah pandangan yang keliru. Perusahaan tidak berfungsi secara terpisah dari masyarakat sekitarnya. Oleh karena itu Piramida Tanggungjawab Sosial Perusahaan yang dikemukakan oleh Archie B. Carrol harus dipahami sebagai satu kesatuan.   
     Karenanya secara konseptual, TSP merupakan Kepedulian perusahaan yang didasari 3 prinsip dasar yang dikenal dengan istilah Triple Bottom Lines yaiu, 3P :
1.      Profit, perusahaan tetap harus berorientasi untuk mencari keuntungan ekonomi yang memungkinkan untuk terus beroperasi dan berkembang.
2.      People, Perusahaan harus memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan manusia. Beberapa perusahaan  mengembangkan  program  CSR  seperti  pemberian  beasiswa  bagi pelajar  sekitar  perusahaan,  pendirian  sarana  pendidikan  dan  kesehatan,  penguatan kapasitas  ekonomi lokal,  dan bahkan  ada perusahaan yang  merancang  berbagai  skema perlindungan sosial bagi warga setempat
3.      Plannet, Perusahaan peduli terhadap lingkunga hidup dan berkelanjutan keragaman hayati. Beberapa program TSP yan berpijak pada prinsip ini biasanay berupa penghijaunan lingkungan hidup, penyediaan sarana air bersih, perbaikan permukiman, pengembangan pariwisata (ekoturisme ) dll.
     Secara Tradisional, para teoritisi maupun pelaku bisnis memiliki interprestasi yang keliru mengenai keuntungan ekonomi perusahaan. Pada umumnya mereka berpendapat mencari laba adalah hal yang harus diutamakan dalam perusahaan. Diluar mencari laba hanya akan menggangu efisiensi dan efektifitas perusahaan. Karena seperti yang dinyatakan Milton Friedman, Tanggungjawab Sosial Perusahaan tiada lain dan harus merupakan usaha mencari laba itu sendiri (Saidi dan Abidan (2004:60).
     Pembangunan Berkelanjutan (Sustainability development) dapat juga berarti menjaga pertumbuhan jumlah penduduk yang tetap sepadan dengan kapasitas produksi sesuai dengan daya dukung lingkungan. Dengan demikian pembangunan berkelanjutan merupakan integrasi dari cita ideal untuk memenuhi kebutuhan generasi kini secara merata (intra-generational equity), hal ini menentukan tujuan pembangunan, dan memenuhi kebutuhan generasi kini dan generasi mendatang secara adil (inter-generational equity) menentukan tujuan kesinambungan.
     Pembangunan berkelanjutan sebagai sarana untuk  menjaga keseimbangan antara jumlah penduduk dan kemampuan produksi sesuai daya dukung lingkungan mengindikasikan adanya keterbatasan sumber daya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan dan persyaratan keseimbangan dalam pelaksanaan pembangunan untuk mencapai kondisi kesinambungan yang akan berubah sesuai situasi dan kondisi serta waktu. Pada intinya pembangunan berkelanjutan memiliki dua unsur pokok yaitu kebutuhan yang wajib dipenuhi terutama bagi kaum miskin, dan kedua adanya keterbatasan sumber daya dan teknologi serta kemampuan organisasi sosial dalam memanfaatkan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan masa mendatang. Untuk itu Komisi Brandtland memberikan usulan penting dalam pembangunan berkelanjutan yaitu adanya keterpaduan konsep politik untuk melakukan perubahan yang mencakup berbagai masalah baik sosial, ekonomi maupun lingkungan. Pembangunan berkelanjutan perlu dilakukan karena dorongan berbagai hal, salah satunya adalah kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh pelaksanaan pembangunan. Pengalaman negara maju dan negara berkembang menunjukkan bahwa pembangunan selain mendorong kemajuan juga menyebabkan kemunduran karena dapat mengakibatkan kondisi lingkungan rusak sehingga tidak lagi dapat mendukung pembangunan. Pelaksanaan pembangunan akan berhasil baik apabila didukung oleh lingkungan (sumber daya alam) secara memadai.

Apa yang memotivasi perusahaan melakukan TSP ?
     Saidi dan Abidin ( 2004:69) membuat matriks yang menggambarkan tiga tahap atau paradigma yang berbeda, diantaranya :
1.      Corporate Charity, yakni dorongan amal berdasarakan motivasi keagamaan.
2.      Corporate Philanthropy,yakni dorongan kemanusiaan yang biasanya bersumber dari norma dan etika universal untuk menolong sesama dan memperjuangkan kemerataan sosial.
3.      Corporate Citizenship, yakni motivasi kewargaan demi mewujudkan keadilan social berdasarkan prinsip keterlibatan social.
     Jika dipetakan, tampaklah bahwa spectrum paradigm ini terentang dari “sekedar menjalankan kewajiban” hingga “ demi kepentingan bersama “ atau dari “ membantu dan beramal kepada sesama” menjadi “memberdayakan manusia”. Meskipun tidak selalu berlaku otomatis, pada umumnya perusahaan melakukan TSP didorong oleh motivasi Karitatif kemudian kemanusiaan dan akhirnya kewargaan.

Motivasi
Tahapan/Paradigma
Karitatif
Filantropis
Kewargaan
Semangat/Prinsip
Agama, Tradisi, Adat
Norma, etika, dan hukum universal: redistribusi kekayaan
Pencerahan diri dan rekonsiliasi dengan ketertiban sosial
Misi
Mengatasi masalah sesaat/saat itu
Menolong sesama
Mencari dan mengatai akar masalah : memberikan kotribusi kepada masyarakat
Pengelolaan
Jangka Pendek dan Parsial
Terencana,terorganisasi, dan terprogram
Terinternalisasi dalam kebijakan perusahaan
Pengorganisasian
Kepanitiaan
Yayasan/ dana abadi
Professional : keterlibatan tenaga-tenaga ahli didalamnya
Penerima Manfaat
Orang Miskin
Masyarakat Luas
Masyarakat luas dan perusahaan
Kontibusi
Hibah sosial
Hibah pembangunan
Hibah sosial maupun pembangunan dan keterlibatan sosial
Inspirasi
Kewajiban
Kemanusiaan
Kepntingan bersama

2.3  Mode Tanggungjawab Sosial Perusahaan

     Menurut Saidi dan Abidin ( 2004:64-65) ada empat model pola TSP di Indonesia :
1.      Keterlibatan langsung, Perusahaan menjalankan program TSP secara langsung dengan menyelengarakan sendiri kegaiatn social atau menyerahkan sumbangan ke masyarakat tanpa perantara.
2.      Melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan, Perusahaan mendirikan yayasan sendiri dibawah perusahaan atau grupnya. Model ini merupaka adopsi dari model yang lazm diterapkan di perusahaan-perusahaan di negara maju.
3.      Bermitra dengan pihak lain, Perusahaan menyelenggarakan TSP melalui kerjasama dengan lembaga sosial atau organisasinn pemerintah (Ornop), Instansi Pemerintah, Universitas atau media masa, baik dalam mengelola dana maupun dalam melaksanakan kegiatan sosialnya.
4.      Mendukung atau bergabung dalam suatu Konsorsium, perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota atau mendukung suatu lembaga social yang didirikan untuk tujuan social tertentu.

Jenis kegiatan TSP berdasarkan jumlah kegiatan dan dana
No.
Jenis/Sektor Kegiatan
Jumlah Kegiatan
Jumlah Dana (rupiah)
1
Pelayanan Sosial
95 kegiatan(34,1 % )
38 miliar (33,0 % )
2
Pendidikan dan Penelitian
71 kegiatan(25,4 % )
66,8 miliar (57,9 % )
3
Kesehatan
46 kegiatan(16,4 % )
4,4 miliar (3, 8% )
4
Kedaruratan (emergency)
30 kegiatan(10,8 % )
2,9 miliar (2,5 % )
5
Lingkungan
15 kegiatan(5,4 % )
395 juta (0,3 % )
6
Ekonomi Produktif
10 kegiatan(3,6 % )
640 juta ( 0,6 % )
7
Seni, olahraga dan pariwisata
7 kegiatan(2,5 % )
1 miliar ( 0,9 % )
8
Pembangunan prasarana, perumahan
5 kegiatan(1,8 % )
1,3 miliar (1,0 % )
9
Hokum, advokasi, politik
0
0

JUMLAH
279 Kegiatan
115,3 miliar

2.4  Comdev dan Pemberdayaan Masyarakat

     Sebagaimana dijelaskan dimuka, konsep TSP seringkali diidentikkan dengan metoda Pengembangan Masyarakat ( Community Develompment ) yang akhir-akhir ini banyak diterapkan oleh Perusahaan dengan istilah Comdev. Dilihat dari motivasi dan paradigm TSP diatas, maka sesungguhnya Pendekatan  Comdev merupaka salah satu bentuk TSP yang lebih banyak didorong oleh motivasi kewargaan, meskipun pada beberapa aspek lain masih diwarnai oleh motivasi filantropis.sebagai ilustrasi, Comdev berangkat dari pendayagunaan hibah pembangunan yang dicirikan oleh adanya langkah proaktif beberapa pihak dan kemampuan mereka dalam mengelola program dalam merespon kebutuhan masyarakat disuatu tempat. Hibah pembangunan merujuk pada bantuan selektif pada satu lembaga nirlaba yang menjalankan satu kegiatan yang sejalan dengan pemberi bantuan yang dalam hal ini adalah perusahaan.
     Sedangkan kegiatan-kegiatan amal atau karitatif yang bergaya sinterklas, lebih banyak didorong oleh motivasi karitatif dan pendayagunaan hibah sosial. Hibah Sosial adalah bantuan kepada suatu lembaga sosial guna menjalankan kegiatan-kegiatan sosial, pendidikan, sedekah, atau kegiatan untuk kemaslahatan umat dnegan hak pengelolaaan   hibah sepenuhnya pada penerima. Saidi dan Abidin ( 2004:61).
     Kalau ditelaah secara seksama, maka tujuan utama pendekatan Comdev adalah bukan sekedar membantu atau memberi barang kepada si penerima. Melainkan berusaha agar si penerima memiliki kemamuan atau kapasitas untuk mampu menolong dirinya sendiri. Dengan kata lain, semangat utama Comdev adalah Pemberdayaan Masyarakat. Oleh karena itu kegiatan Comdev biasanya diarahkan pada proses pemerkuasaan, peningktan kekuasaan, atau penguatan kemampuan para penerima pelayanan.
     Pemberdayaan masyarakat ini pada dasarnya merupakan kegiatan terencana dan kolektif dalam memperbaiki kehidupan masyarakat yang dilakukan melalui program peningkatan kapasitas orang, terutama kelompok lemah atau kurang beruntung(disadvantaged groups ) agar mereka memiliki kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya, mengemukakan gagasan, melakukan pilihan-pilihan hidup, melaksanakan kegiatan ekonomi, menjangaku dan memobilisai sumber, serta berpartisipasi dalam kegiatan social.
     Meskipun pemberdayaan masyarakat dpat dilakukan terhadap semua kelompok atau kelas masyarakat, namun pada umumnya pemerdayaan dilakukan terhadap kelompok masyarakat yang dianggap lemah atau kurang berdaya yang memiliki karakteristik lemah atau rentan dalam aspek :
1.      Fisik : Orang dengan kecatatan dan kemampuan khusus.
2.      Psikologis : Orang yang mengalami masalah personal dan penyesuaian diri.
3.      Finansial : Orang yang tidak memiliki Pekerjaan, pendapatan, modal, dan asset yang mampu menopang kehidupannya.
4.      Struktural : Orang yang mengalami diskriminasi dikarenakan status sosialnya, gender, etnis,orientasi sosial, dan pilihan politiknya.
     Selanjutnya, melalui program-program pelatihan, pemberian modal usaha, perluasan akses terhadap pelayanan sosial, dan peningkatan kemandirian, proses pemberdayaan diarahkan agar kelompok lemah tersebut mimiliki kemampuan atau keberdayaan. Keberdayaan disini bukan saja dalam arti fisik atau ekonomi, melainkan pula dalam arti psikologis dan sosial, seperti :
·         Memiliki sumber pendapatan yang dapat menopang kebutuhan diri dan keluarganya.
·         Mampu mengemukakan gagasan didalam keluarga mauoun didepan umum.
·         Memiliki mobilitas yang cukup luas : pergi keluar rumah atau wilayah tempat tinggalnya.
·         Berpartisipasi dalam kehidupan sosial.
·         Mampu membuat keputusan dan menentukan pilihan-pilihan hidupnya.
     Proses Pemberdayaan Masyarakat dapat dilakukan melalui beberapa tahapan :
a.       Menentukan populasi atau kelompok sasaran
b.      Mengidentifikasi masalah dan kebutuhan kelompok sasaran
c.       Merancang program kegiatan dan cara-cara pelaksanaannya
d.      Menentukan sumber pendanaan
e.       Menentukan dan mengajak pihak-pihak yang akan dilibatkan
f.       Melaksakan kegiatan atau mengimplementasiakan program
g.      Dan, memonitor dan mengevaluasi kegiatan.
     Kegiatan-kegiatan pemberdayaan biasanya dilakukan secara berkelompok dan terorganisir dengan melibatkan beberapa strategi seperti pendidikan dan pelatihan keterampilan hidup ( life skills ), ekonomi produktif, perawatan social, penyadaran dan pengubahan sikap dan perilaku, advokasi, pendampingan dan pembelaan hak-hak klien, aksi sosial, sosialisasi,kampanye, demonstasi,kolaborasi, kontes, atau pengubahan kebijakan publik agar lebih responsive terhadap kebutuhan kelompok sasaran.
    Berbeda dengan kegiatan Bantuan Sosial karitatif yang dicirikan oleh adanya hubungan “ patron-klien “ yang tidak seimbang, maka pemberdayaan masyarakat dalam program Comdev didasari oleh pendekatan yang partisipatoris, humanis, emansipatoris yang berpijak pada beberapa prinsip sebagai berikut :
1.      Bekerja bersama berperan setara.
2.      Membantu rakyat agar mereka bisa membantu dirinya sendiri dan orang lain.
3.      Pemberdayaan bukan kegiatan satu malam.
4.      Kegiatan diarahkan bukan saja untuk mendapat satu hasil, melainkan juga agar menguasai prosesnya.
     Agar berkelanjutan, pemberdayaan jangan hanya berpusat pada komunitas lokal, melainkan pula pada sistem sosial yang lebih luas termasuk kegiatan sosial.

                                                 
















BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan

     Secara konseptual, TSP adalah pendekatan dimana perusahaan mengintegarasikan kepedulian sosial dalam operasi bisnis dan interaksi mereka dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip kesukarelaan dan kemitraan. (Nuryana, 2005). Meskipun sesungguhnya memiliki pendekatan yang relative berbeda, beberapa nama lain yang memiliki kemiripan atau bahkan identik dengan TSP antara lain, Investasi Sosial Perusahaan (corporate social Investment/investing), pemberian perusahaan (Corporate Giving), kedermawanan Perusahaan (Corporate Philantropy). Untuk bisa mewujudkan TSP setiap pelaku usaha (investor) baik dalam maupun asing  yang melakukan kegiatan di wilayah RI wajib melaksanakan aturan dan tunduk kepada hukum yang berlaku di Indonesia, sebaliknya pemerintah sebagai regulator wajib dan secara konsisten menerapkan aturan dan sanksi apabila ada pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan yang tidak melaksanakan TSP sesuai dengan ketentuan undang-undang  yang berlaku.

3.2 Saran

     Pemerintah perlu terus melakukan sosialisasi kepada para pelaku usaha untuk menyamakan persepsi mengenai pentingnya TSP dalam mewujudkan iklim penanaman modal di Indonesia. Dibutuhkan konsistensi dan komitmen baik dari pemerintah maupun pelaku usaha (investor) dalam melaksanakan TSP sebagai suatu kewajiban hukum. 

DAFTAR PUSTAKA


http://prokum.esdm.go.id/uu/2007/uu-40-2007.pdf
http://www.academia.edu/4800208/CSR
http://www.cifor.org/publications/pdf_files/infobrief/002_Brief.pdf

No comments:

Post a Comment